Bursa Saham Berpeluang Naik Minggu Ini

233

INAnews.co.id – Diawal minggu ini, pasar keuangan Indonesia mencatatkan penguatan tipis. Baik, Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sama-sama menguat sangat terbatas.

Kemarin, IHSG ditutup naik 0,05%. IHSG tidak mampu mencetak prestasi seperti indeks saham Asia lainnya yang menguat lebih tajam. Nikkei 225 menguat 0,37%, Shanghai Composite meoket 4,09%, Hang Seng lompat 2,32%, Kospi naik 0,25%, dan Straits Times bertambah 0,51%.

Sentimen positif berhembus dari China. Hasil perdagangan yang positif di bursa saham Shang Hai dan Shen Zhen mendorong kenaikan bursa saham regional. Melesatnya bursa saham Benua Kuning dipimpin oleh penguatan indeks Shanghai yang belum terbendung pasca menguat sebesar 2,58% pada hari Jumat (19/10/2018). Lemahnya angka pertumbuhan ekonomi China masih direspon positif oleh pelaku pasar saham disana. Pasar lebih percaya diri dengan rencana pemerintah China memotong tarif pajak pada tahun depan.

Kebijaksanaan ini dianggap bisa mendorong kinerja perekonomian domestik. Nilai pemotongan tarif pajak ini diperkirakan mencapai 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) China.  Sebagai catatan, PDB nominal China pada akhir 2018 diperkirakan sebesar US$ 13,2 triliiun (Rp 200.595 triliun). Satu persen dari angka itu adalah US$ 132 miliar (Rp 2.005 triliun). Wow.

Penasihat Bank Sentral China (PBoC) Ma Jun,  menyatakan stimulus pajak ini akan berdampak lebih besar ketimbang yang dilakukan AS. Seperti diketahui, bahwa pada akhir 2017, Presiden AS Donald Trump memberlakukan pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) bagi orang pribadi dan badan usaha. Hasilnya sangat impresif, membuat perekonomian Negeri Paman Sam semakin kuat sehingga memaksa The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan tiga kali sejak awal tahun.

Dalam perdagangan selanjutnya, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya perkembangan di Wall Street yang meski variatif tetapi cenderung merah. Virus koreksi Wall Street bisa saja menular sampai ke Asia, tidak terkecuali Indonesia.

Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS yang sepertinya mulai bangkit setelah kemarin seharian nyungsep. Dollar Index, yang menakar posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia, yang sejauh ini masih menguat. Investor kembali berburu dolar AS setelah melihat ada risiko di Inggris. Seperti biasa, proses perceraian Inggris dari Uni Eropa (Brexit) masih berliku.

Isu yang masih mengganjal masih seputar wilayah kepabeanan di Irlandia Utara. Perdana Menteri Inggris Theresa May menyatakan, sebagian besar poin Brexit sudah disepakati tetapi ada satu yang paling mengganjal yaitu masalah wilayah kepabeanan itu.
Uni Eopa ingin Irlandia Utara tetap masuk wilayah kepabeanan mereka, sementara Inggris meminta tidak ada pemeriksaan pabean. May pun mengusulkan dua opsi yaitu penerapan masa transisi dan pembentukan pabean ganda Inggris-Uni Eropa.

Dengan waktu yang tersisa 5 bulan sebelum Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa, masih ada hambatan yang belum terselesaikan. Jika tidak ada kesepakatan alias no deal, Inggris harus bersiap dengan konsekuensi sulit berdagang dengan negara lain di Eropa Kontinental.

Deadlock proses Brexit ini menciptakan ketidakpastian bagi pelaku pasar. Oleh karena itu, investor lagi-lagi dipaksa bermain aman dengan mengoleksi dolar AS. Mata uang ini menjadi semakin kuat dan bukan kabar gembira buat rupiah dan IHSG.

Sentimen ketiga, masih terkait geopolitik global, adalah ketegangan hubungan AS- Arab Saudi. Ketegangan ini adalah buntut dari tewasnya kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi, di kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki).

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia. Pelaku pasar memperkirakan Perry Warjiyo dan sejawat akan mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate di 5,75%.

Inflasi domestik yang terkendali dan penurunan harga minyak menjadi alasan mengapa BI belum perlu menaikkan suku bunga acuan. Aliran modal masih masuk ke Indonesia (terutama di pasar obligasi) sehingga tekanan terhadap rupiah belum bertambah.

Baca Juga

Komentar Anda

Your email address will not be published.