INAnews.co.id , Jakarta -Perkembangan Industri Halal di seluruh dunia terus meningkat dalam beberapa tahun ini.
Khususnya untuk produk makanan, keuangan, fashion, kosmetik dan obat-obatan, sampai media dan pariwisata.
Sementara di tanah air Indonesia masih terus berputar-putar pada persoalan sertifikasi halal, bahkan sampai pada stagnasi proses pendaftaran sertifikasi halal.
Pasalnya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang bersikeras tetap mengambil alih pendaftaran sertifikasi halal, padahal belum siap.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengatakan, imbas dari ketidaksiapan sertifikat halal akan mengakibatkan pada stagnasi industri.
“Hal ini karena produk yang beredar di masyarakat hanya yang bersertifikat halal saja,” ujar Ikhsan di acara refleksi akhir tahun Indonesia Halal Watch pada, Senin 23 desember 2019 di Jakarta.
Ikhsan juga menyayangkan ketidaksiapan BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) , dalam melakukan pendaftaran ataupun perpanjangan sertifikat halal.
“Sekarang kalau tidak ada sertifikasi halal bagaimana industri mau tumbuh, mau daftar, perpanjang, atau mengembangkan produk tidak bisa karena ketidaksiapan sertifikasi halal,” ujarnya .
Tanggap Ikhsan , Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal sebagai bentuk diskresi untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dinilai sudah tepat.
“UU JPH tetap dapat dijalankan dengan memberikan kewenangan kepada Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Makanan (LPPOM MUI) yang selama ini telah menjalankan fungsi tersebut, ” ujar Ikhsan.
Menurutnya , Indonesia harus maksimal mengambil keuntungan dari bisnis produk halal yang sangat potensial dan market sizenya yang sangat besar, karena meliputi makanan, minuman, Kosmetika, Obat, Fashion dan Halal Tourism.
“Saat ini kita masih menempati posisi Utama sebagai Negara Konsumen terbesar yang membelanjakan hampir U$D 170 Miliar dollar per tahun untuk produk halal, berdasarkan data Global Islamic Economy Indicator 2018/2019,” kata Ikhsan.
“Artinya bila kita dapat memasok kebutuhan sendiri, maka kita akan menghemat devisa sebesar Rp. 2.465 Triliun Rupiah per tahun,” tambahnya.
Pemerintah Indonesia juga harus dapat memacu riset agar dapat menghasilkan berbagai obat dan vaksin halal yang sampai saat ini masih didominasi oleh obat dan vaksin yang masih berbahan baku non Halal.
“Yang harus dilakukan saat ini bagaimana Indonesia dapat menikmati keuntungan dari Perdagangan Industri Halal dan Indonesia menjadi Industri Utama Dunia dalam perdagangan produk halal,” ucap Ikhsan.
Tambah Ikhsan Indonesia harus dapat mengambil hikmah dari Negara Senegal yang beberapa waktu lalu telah berhasil menemukan bahan vaksin Yellow Vever dari bahan substitusi yang halal, dan kini Negara tersebut mendulang devisa dari perdagangan Vaksin di kawasan Afrika Barat.
“Bila Indonesia dapat mencontoh Senegal, maka kita tidak perlu membelanjakan trilyunan Rupiah untuk pengadaan Vaksin BCG, Dipteri, campak, cacar, meningitis, serviks dan lainnya,” tutup Ikhsan.