INAnews.co.id , Jakarta – Islam Moderat, atau islam wasathiyyah, bukanlah hal baru bagi masyarakat Muslim di Indonesia.
Praksis Islam moderat sudah dilakukan oleh para pendiri bangsa ketika bersepakat dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tahun 1945.
Alih-alih menjadikan Islam sebagai dasar negara, para tokoh ulama yang terlibat dalam perumusan konstitusi awal justru bersepakat untuk menerima Pancasila sebagai dasar berdirinya bangsa Indonesia.
Hal ini terungkap saat gelaran Seminar Internasional peringatan Hari Santri dan Hari Sumpah Pemuda kerjasama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor).
“Penerimaan atas Pancasila adalah eksperimen Islam Wasathiyyah dalam konteks kebangsaan di Indonesia,” terang Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Prof. Dr. Mahfud Md. Saat menjadi keynote speech melalui video conference dalam Seminar Internasional 28 Oktober 2020.
Lebih lanjut Mahfud menjelaskan bahwa penerimaan para tokoh ulama atas Pancasila membuktikan faktor mayoritas-minoritas tidak pernah menjadi dasar pertimbangan keputusan.
Para ulama berpandangan bahwa, alih-alih menuntut perlakukan istimewa karena jumlah konstituennya, Islam mengajarkan prinsip saling menghormati di antara berbagai golongan yang berbeda.
“Islam menekankan prinsip toleransi, inklusivisme, dan saling penghormatan sebagai basis kehidupan sosial,” tambah Mahfud.
Penerimaan dua organisasi muslim terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, pada Pancasila menunjukkan bahwa Pancasila selalu sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
“Prinsip Islam tidak selalu harus diwujudkan dalam bentuk syariah,” tambah Mahfud.
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Katib Aam Syuriyah PBNU, KH Yahya Cholil Staquf.
Dalam kesempatan sesi panelis di seminar yang sama, Gus Yahya mengatakan bahwa prinsip Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamiin) mestinya diikuti oleh tiadanya perlakuan diskriminatif terhadap golongan lain.
Dalam pandangan Gus Yahya, fakta bahwa masih maraknya perlakukan diskriminasi disebabkan karena dominasi jurisprudensi klasik yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan kekinian.
“Globalisasi, perubahan tatatanan dunia, pergeseran norma dan nilai universal menuntut kita untuk mendorong perubahan jurisprudensi Islam yang lebih inklusif,” terang Gus Yahya.
Selain Mahfud dan Gus Yahya, seminar yang bertajuk “Islam Rahmatan Lil Alamin, Pancasila and Commission on Unalienable Rights: Safeguarding and Strengthening a Rules-Based International Order in the 21st Century Founded upon Shared Civilizational Values” juga dihadiri oleh Wakil Ketua Dewan Pengarah BPIP Jendral (Purn) Try Sutrisno, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Prof Muhadjir Effendy, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoli, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Kepala BPIP Prof Yudian Wahyudi, dan Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Coumas, serta pembicara asing antara lain dari Harvard Law School, Prof. Mary Aan Glendon dan Cartwright Weiland berasal dari Biro Perencanaan Kebijakan Kemenlu Amerika Serikat.
Seminar diselenggarakan secara hybrid melalui daring dan luring dengan menerapkan Protokol kesehatan covid-19.