INAnews.co.id, Jakarta– Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia “Kerakyatan” (Aliansi BEM SI “Kerakyatan”) mengeluarkan sikap terkait peristiwa oknum aparat kepolisian menembak mati seorang siswa sekolah di Semarang, Jawa Tengah.
Berikut sikap mereka yang diunggahnya di IG @bemsi_official, Kamis (28/11/2024):
Pernyataan Sikap
Aliansi BEM Seluruh Indonesia “Kerakyatan”
POLISI MEMBUNUH LAGI : TUNTUTAN USUT TUNTAS DAN REFORMASI KEPOLISIAN
28 November 2024
“Reformasi tidak berarti mempermudah pelanggaran, tetapi menciptakan sistem yang benar-benar melindungi rakyat.” _Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Berita tidak mengenakan kembali kita dengar, institusi yang seharusnya melindungi rakyat kembali menodai amanahnya. Pada 23 November 2024, seorang pelajar berusia 17 tahun berinisial AG menjadi korban penembakan oleh seorang anggota kepolisian di Semarang, Jawa Tengah. Kejadian tragis ini masih menjadi simpang siur akan kebenarannya.
Pihak kepolisian mengatakan jika sedang melerai 2 geng yang sedang tawuran sehingga terpaksa mengeluarkan tembakan yang menewaskan 1 orang dan 2 orang luka. Di sisi lain seorang satpam yang menjadi saksi mengatakan jika tidak ada tawuran yang terjadi melainkan terjadi cekcok antara pengguna jalan.
Aparat yang terlibat dalam kejadian tidak manusiawi ini berada dalam sorotan publik, sementara keluarga korban masih menunggu keadilan. Yang menjadi pertanyaan, mengapa tindakan sekejam ini bisa terjadi di tengah masyarakat yang seharusnya dilindungi? Bagaimana mungkin senjata api digunakan tanpa protokol yang ketat dan diarahkan ke warga sipil? Mengapa kita harus percaya kepada polisi?
Kasus ini menunjukkan wajah kelam dari sistem hukum di negeri ini. Kekerasan, pembunuhan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat negara terus berulang, tanpa adanya perubahan signifikan. Dengan ini, kami Aliansi BEM SI Kerakyatan, dengan tegas menyatakan:
1. Mengutuk keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, termasuk penembakan pelajar di Semarang.
2. Menuntut investigasi yang independen, transparan, dan akuntabel terhadap kasus ini, serta hukuman berat bagi pelaku tanpa pandang bulu.
3. Menuntut pemerintah segera melaksanakan reformasi total di tubuh kepolisian, yang meliputi sistem rekrutmen, pelatihan berbasis HAM, evaluasi berkala, dan pemberantasan budaya kekerasan.
4. Meminta jaminan dari negara atas hak dasar rakyat untuk hidup dengan rasa aman, tanpa ancaman dari aparat yang bertindak sewenang-wenang.
Kasus penembakan siswa di Semarang hanyalah puncak gunung es dari kasus-kasus serupa. Banyak tragedi lain yang menjadi bukti nyata bahwa kekerasan oleh kepolisian di Indonesia adalah masalah sistemik, bukan sekadar perilaku oknum. Kami rangkumkan kasus-kasus yang telah terjadi atas bobroknya sistem penegakan hukum di negara kita :
1. Tragedi Kanjuruhan (2022): Pembantaian Massal di Stadion Sepak Bola
Pada 1 Oktober 2022, dunia sepak bola Indonesia berduka. Sebanyak 135 nyawa melayang dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Polisi, dengan dalih mengendalikan massa, menembakkan gas air mata ke arah tribun yang penuh dengan penonton. Hasilnya adalah kepanikan massal yang menyebabkan 135 orang meninggal dunia, termasuk anak-anak.
Hingga kini, keluarga korban masih menunggu keadilan. Namun tetap, proses hukum berjalan lambat, bahkan cenderung memihak pelaku. Tragedi ini menjadi simbol kegagalan polisi dalam menangani kerumunan dan menegakkan protokol keamanan.
2. Penembakan 6 Laskar FPI (2020): Pelanggaran HAM Berat di Jalan Tol
Pada Desember 2020, enam anggota Front Pembela Islam (FPI) tewas ditembak oleh aparat kepolisian dalam sebuah insiden di Tol Jakarta-Cikampek. Laporan Komnas HAM menunjukkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat, termasuk eksekusi di luar proses hukum. Namun, hingga kini, proses hukum terhadap pelaku berjalan stagnan, menciptakan preseden buruk bagi perlindungan hak asasi di Indonesia.
3. Kekerasan terhadap Mahasiswa di Kendari (2019): Nyawa Pemuda yang Terenggut
Ketika mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan terhadap RUU kontroversial pada September 2019, kekerasan aparat kembali menelan korban. Dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Randi dan Yusuf Kardawi, tewas akibat luka tembak. Polisi yang bertugas membubarkan massa menggunakan peluru tajam, yang jelas melanggar prosedur pengamanan aksi damai. Kasus ini menjadi pengingat bahwa ruang demokrasi di Indonesia terus terancam oleh represifitas aparat.
4. Penyiksaan di Polda Metro Jaya (2023): Budaya Impunitas yang Mengakar
Kasus penyiksaan yang mengakibatkan kematian seorang tersangka di tahanan Polda Metro Jaya menyoroti budaya kekerasan yang sudah mengakar di tubuh kepolisian. Tersangka yang seharusnya mendapatkan perlakuan manusiawi justru meregang nyawa akibat penyiksaan. Kasus ini mencerminkan lemahnya kontrol internal dan minimnya akuntabilitas di institusi penegak hukum.
5. Pembunuhan Afif Maulana (Maret 2023)
Afif Maulana, bocah berusia 13 tahun, ditemukan tewas di sebuah sungai di Karawang setelah sebelumnya diduga menjadi korban kekerasan oleh aparat kepolisian. Afif ditangkap atas tuduhan yang tidak jelas bersama teman-temannya, kemudian mengalami penganiayaan berat selama proses interogasi.
Tubuhnya ditemukan beberapa hari setelah laporan kehilangan dibuat oleh keluarganya. Kejadian ini memperlihatkan buruknya pengelolaan prosedur hukum oleh aparat dan minimnya pengawasan terhadap tindakan kekerasan di institusi kepolisian. Hingga kini, kasus Afif Maulana belum diselesaikan dengan tuntas, meninggalkan luka mendalam bagi keluarga korban dan masyarakat.
6. Kekerasan Berulang di Aksi Massa
Tak terhitung banyaknya kasus kekerasan terhadap peserta aksi damai. Mulai dari pemukulan, intimidasi, hingga penggunaan kekuatan berlebihan, semua ini menunjukkan bahwa aparat seringkali bertindak melampaui batas kewenangannya. Kasus ini berulang di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta, di mana mahasiswa dan masyarakat kerap menjadi sasaran kekerasan hanya karena menyuarakan hak mereka.
TUNTUTAN KAMI
Berdasarkan realitas yang terjadi, Aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) menyatakan:
1. Mendesak pemerintah dan institusi kepolisian untuk menindak tegas pelaku penembakan pelajar di Semarang, serta menjamin keadilan bagi keluarga korban.
2. Mendesak reformasi total institusi kepolisian, baik dari segi struktur, budaya kerja, maupun pengawasan terhadap perilaku aparat.
3. Menuntut komitmen pemerintah untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia, khususnya bagi generasi muda.
4. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus mengawal kasus-kasus kekerasan oleh aparat guna memastikan terwujudnya keadilan dan keamanan di Indonesia.