Menu

Mode Gelap
Komitmen Pemerintah di Digitalisasi GovTech WNI Jadi Korban TPPO Berhasil Dipulangkan Pemerintah Infrastruktur Maksimal Jelang Lebaran 2025 Merampok Indonesia Merobek Merah Putih Kita Diskusi yang Digelar Barikade 98 RUU TNI Jadi UU Sah! Gakeslab Indonesia Provinsi DKI Jakarta Lakukan Penandatanganan Kerjasama Dengan PT Sucofindo

HUKUM

Pengusaha Heruwanto Joni Ajukan Praperadilan, Kuasa Hukum: Ada Penyimpangan Dalam Proses Hukum

badge-check


					Pengusaha Heruwanto Joni Ajukan Praperadilan, Kuasa Hukum: Ada Penyimpangan Dalam Proses Hukum Perbesar

INAnews.co.id, Jakarta  –  Pengusaha Heruwanto Joni melalui tim kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Indonesia Satu mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Permohonan tersebut terdaftar dengan Nomor: 2/PID.PRA/2025/PN JKT.UTR dan diajukan sebagai upaya untuk menegakkan keadilan atas dugaan penyimpangan prosedur yang dilakukan oleh penyidik Polres Metro Jakarta Utara. Sidang kedua untuk perkara ini dijadwalkan berlangsung pada Senin, 17 Februari 2025.

Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Nur Riyanto Hamzah, S.H., M.H., M.Kn., dan Hardiansyah, S.H., selaku kuasa hukum Heruwanto Joni, menyampaikan sejumlah alasan yang mendasari permohonan praperadilan ini. Mereka menilai bahwa penetapan tersangka terhadap klien mereka cacat hukum, penuh kejanggalan, dan bertentangan dengan asas due process of law.

Kronologi Perkara: Dari Bisnis ke Sengketa Hukum

Kasus ini bermula dari kerja sama bisnis antara Kortaz PTE. LTD., perusahaan yang berkaitan dengan Heruwanto Joni, dengan PT. TOP. Kerja sama tersebut melibatkan transaksi perdagangan yang seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata. Namun, dalam perkembangannya, PT. TOP melaporkan Heruwanto Joni ke kepolisian dengan dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan.

Menurut Nur Riyanto Hamzah, yang biasa disapa Riyan, pelaporan ini sangat prematur dan tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang ada. “Seharusnya, jika ada sengketa dalam kerja sama bisnis, maka jalur penyelesaiannya adalah perdata, bukan pidana. Klien kami sudah menunjukkan itikad baik dengan melakukan pembayaran bertahap kepada PT. TOP, bahkan menawarkan jaminan dalam bentuk unit apartemen. Namun, justru yang terjadi adalah kriminalisasi terhadap dunia usaha,” ujarnya.

Riyan Kuasa hukum yang juga berprofesi sebagai aktor bintang film dan Stand Up Komendi ini, selanjutnya menambahkan keterangannya bahwa kasus ini memiliki kompleksitas tersendiri karena adanya hubungan transaksi keuangan antara pihak-pihak yang terlibat. “Keterlambatan pembayaran dari klien kami kepada PT. TOP terjadi karena pihak pembeli di Azerbaijan, Solifa Group, juga mengalami kendala dalam pembayaran. Ini adalah rantai bisnis yang harus dipahami secara menyeluruh, bukan sekadar mengambil satu sudut pandang yang merugikan klien kami,” jelas Hardiansyah, S.H.

Penetapan Tersangka yang Dipertanyakan

Salah satu poin utama dalam permohonan praperadilan ini adalah proses penetapan tersangka yang dinilai cacat hukum. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014, penetapan seseorang sebagai tersangka harus memenuhi dua syarat utama, yaitu didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah dan harus melalui pemeriksaan calon tersangka sebelum status tersebut ditetapkan.

Namun, dalam kasus ini, penyidik Polres Metro Jakarta Utara diduga tidak melakukan penyelidikan yang layak sebelum menetapkan Heruwanto Joni sebagai tersangka. “Klien kami awalnya hanya dipanggil sebagai saksi, namun saat ia datang memenuhi panggilan, tiba-tiba statusnya langsung dinaikkan menjadi tersangka. Tidak ada pemberitahuan resmi, tidak ada kesempatan untuk klarifikasi lebih awal, dan bahkan tidak ada surat perintah penyelidikan yang diterbitkan sebelumnya,” ungkap Nur Riyanto Hamzah.

Lebih lanjut, pihak kuasa hukum juga menyoroti prosedur pemanggilan yang tidak sesuai aturan. Pemanggilan kepada Heruwanto Joni hanya dilakukan melalui pesan WhatsApp pada hari yang sama dengan jadwal pemeriksaan, tanpa adanya surat resmi. “Ini jelas melanggar hak asasi klien kami. Seharusnya, pemanggilan dilakukan dengan cara yang sah dan patut, bukan dengan cara-cara yang terkesan memaksakan kehendak,” tambahnya.

Penyidik Diduga Menyalahgunakan Wewenang

Dalam permohonan praperadilan yang diajukan, LBH Indonesia Satu juga menyoroti dugaan penyalahgunaan wewenang oleh penyidik Polres Metro Jakarta Utara. Selain penetapan tersangka yang dinilai tidak sah, terdapat sejumlah tindakan penyidik yang dianggap tidak profesional dan melanggar hak-hak tersangka.

“Ketika klien kami hadir untuk memenuhi panggilan sebagai saksi, ia langsung ditetapkan sebagai tersangka tanpa didampingi kuasa hukum. Hak untuk mendapatkan pendampingan hukum adalah bagian dari prinsip fair trial yang dijamin oleh UUD 1945. Namun, dalam kasus ini, penyidik bertindak seolah-olah terburu-buru untuk menjerat klien kami tanpa memberi kesempatan pembelaan yang cukup,” tegas Hardiansyah.

Tidak hanya itu, penyidik juga diduga mengabaikan bukti-bukti yang menguntungkan Heruwanto Joni. Kuasa hukum mengungkapkan bahwa ada dokumen transaksi yang membuktikan bahwa klien mereka telah melakukan pembayaran sebagian kepada PT. TOP. Selain itu, PT. TOP juga memiliki kewajiban bisnis terhadap Kortaz PTE. LTD., yang belum diselesaikan. Namun, penyidik hanya menggunakan bukti yang diajukan oleh pihak pelapor tanpa mempertimbangkan aspek lain yang bisa meringankan Heruwanto Joni.

Bisnis Tidak Seharusnya Dikriminalisasi

Kuasa hukum menegaskan bahwa praperadilan ini diajukan bukan hanya demi kepentingan Heruwanto Joni secara pribadi, tetapi juga untuk mencegah kriminalisasi terhadap pengusaha lain di Indonesia. “Jika pola seperti ini dibiarkan terjadi, maka setiap perselisihan bisnis bisa dijadikan alasan untuk menjerat seseorang ke ranah pidana. Ini berbahaya bagi iklim investasi dan dunia usaha secara keseluruhan,” ujar Nur Riyanto Hamzah.

Menurutnya, hukum pidana seharusnya tidak digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan sengketa bisnis. “Jalur hukum yang benar dalam kasus ini adalah perdata. Apabila ada wanprestasi, maka penyelesaiannya melalui pengadilan perdata, bukan dengan menjadikan seseorang sebagai tersangka dalam proses yang tidak sah,” imbuhnya.

Tim kuasa hukum berharap bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Utara dapat mengabulkan permohonan praperadilan ini dan menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Heruwanto Joni tidak sah. Mereka juga meminta agar penyidik Polres Metro Jakarta Utara bertindak lebih profesional dan menghormati prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

Dengan bergulirnya praperadilan ini, banyak pihak yang menaruh perhatian terhadap hasil akhirnya. Jika gugatan ini dikabulkan, maka bisa menjadi yurisprudensi penting dalam melindungi pengusaha dari upaya kriminalisasi yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Sidang kedua yang akan berlangsung pada 17 Februari 2025 diharapkan menjadi titik terang dalam kasus ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

YLBHI Tolak RUU TNI karena Ini

17 Maret 2025 - 04:20 WIB

Penitipan Barang Bukti Perkebunan Kelapa Sawit oleh Jaksa Agung ke Menteri BUMN

11 Maret 2025 - 10:52 WIB

Polri Tetap Proses Pidana Kasus Pagar Laut yang Seret Kades Kohod

5 Maret 2025 - 12:43 WIB

Populer GERAI HUKUM