INAnews.co.id, Jakarta– Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) tahun 2025 yang menetapkan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai ibu kota politik pada 2028 memang memberikan kepastian hukum. Namun, pertanyaan kritis tetap menggantung: apakah ini solusi nyata untuk pemerataan pembangunan atau hanya perpindahan geografis yang mahal?
Pengamat politik Adi Prayitno mengakui bahwa Perpres tersebut telah menjawab spekulasi tentang masa depan IKN yang sempat diguncang isu moratorium. “Dengan adanya peraturan presiden yang terbaru ini, spekulasi IKN mangkrak sudah tidak relevan lagi,” ujar Prayitno lewat kanal YouYube-nya diunggah Selasa.
Meski regulasi telah terbit, Prayitno mengakui definisi “ibu kota politik” masih belum jelas secara signifikan. Publik hanya bisa “meraba-raba” bahwa hal ini berarti IKN siap menampung seluruh aktivitas pemerintahan – eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Ketidakjelasan konsep ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana masyarakat bisa yakin dengan proyek senilai ratusan triliun rupiah jika definisi dasarnya saja masih kabur?
Prayitno menegaskan bahwa tujuan utama IKN adalah menciptakan distribusi ekonomi yang merata, mengakhiri dominasi Pulau Jawa dalam pertumbuhan ekonomi nasional. “Selama ini banyak keluhan bahwa denyut nadi ekonomi hanya di Pulau Jawa, hanya di Jakarta dan sekitarnya,” katanya.
Namun, pertanyaan kritisnya adalah: apakah perpindahan ibu kota secara otomatis akan menciptakan ekosistem ekonomi baru? Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa perpindahan ibu kota tidak selalu berkorelasi langsung dengan pemerataan ekonomi.
Prayitno menyebut bahwa mulai 2026-2027, ASN dan instansi terkait harus mulai berpindah ke IKN sebagai persiapan. Namun, hingga kini belum ada kejelasan kapan tepatnya perpindahan massal ini dimulai.
“Problemnya adalah per hari ini yang perlu kita tanyakan adalah mulai kapan kira-kira instansi-instansi akan segera pindah ke IKN,” ungkap Prayitno, menggarisbawahi ketidakpastian dalam implementasi.
Prayitno mengakui IKN telah “menghabiskan dana yang cukup luar biasa” dari APBN. Namun ia berharap investasi besar ini akan terbayar dengan dampak signifikan terhadap ekonomi, sosial, dan politik.
Pertanyaan kritisnya: dengan anggaran sebesar itu, bukankah ada alternatif lain yang lebih efektif untuk mencapai pemerataan pembangunan tanpa harus memindahkan seluruh ibu kota?
Meski optimis, Prayitno menekankan bahwa IKN bukan sekadar “pindah tempat” atau “pindah aktivitas.” Keberhasilan akan diukur dari kemampuannya menciptakan ekosistem baru – sosial, politik, dan ekonomi.
“Hanya dengan cara itulah kemudian IKN bisa menjawab persoalan-persoalan yang selama ini dihadapi oleh seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.
Sementara Prayitno optimis bahwa “pasti ada cahaya di ujung terowongan,” beberapa pertanyaan kritis masih menggantung: Bagaimana mengukur keberhasilan pemerataan ekonomi yang dijanjikan? Apa rencana konkret untuk mencegah IKN menjadi sekadar Jakarta baru di Kalimantan? Bagaimana nasib Jakarta dan wilayah Jabodetabek setelah kehilangan status ibu kota?
Dengan target 2028 yang semakin dekat, waktu akan menjadi saksi apakah IKN benar-benar menjadi solusi pemerataan pembangunan atau sekadar proyek perpindahan yang menguras anggaran negara tanpa dampak transformatif yang diharapkan.