Menu

Mode Gelap
DPD Award Bentuk Pengakuan Nasional terhadap Kontribusi Tokoh Daerah Strategi Networking saat Pulang ke Indonesia bagi Pelajar Indonesia Pesan Anies untuk Diaspora Indonesia Teknokrasi Harus Memimpin, Bukan Didominasi Politik Kunci Sukses “Pulang Kampung” dari Negeri Orang Jangan Jadi “Melayu Kecil” di Negeri Orang

POLITIK

Gibran Perlu Brain Care, Bukan Skincare

badge-check


					Foto: dok. Kompas Perbesar

Foto: dok. Kompas

INAnews.co.id, Jakarta– Pengamat politik Rocky Gerung kembali meledak dengan sindiran pedasnya, kali ini menyasar Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan kalimat yang langsung viral: “Gibran tidak memerlukan skincare, dia memerlukan brain care.”

Pernyataan ini dilontarkan Rocky dalam diskusi bertajuk “Anak Muda Multi Problema” di program Indonesia Leaders Talk (ILT) yang disiarkan Kanal YouTube Mardani Ali Sera, Jumat (24/10/2025).

Rocky menggunakan analogi interaksi dengan artificial intelligence (AI) untuk menjelaskan bagaimana kualitas pertanyaan mencerminkan kualitas pemikiran seseorang.

“Misalnya Haldi bertanya pada artificial intelligence: ‘Apakah Saudara Gibran memerlukan skincare?’ Apa kira-kira jawaban artificial intelligence? Dia akan tanya dulu yang Anda maksud dengan Gibran lelaki atau perempuan? Algoritmanya begitu. Terus Haldi bilang Gibran itu adalah laki-laki. Maka artificial intelligence dengan cepat menjawab: Gibran tidak memerlukan skincare karena dia laki-laki,” ujar Rocky memulai analoginya.

“Tapi kalau Anda tanyakan kembali, ‘Kalau begitu Gibran memerlukan apa?’ Artificial intelligence akan jawab dengan lebih cepat lagi: Gibran tidak memerlukan skincare, dia memerlukan brain care,” lanjut Rocky, disambut tawa peserta diskusi.

Rocky menjelaskan bahwa analogi ini bukan sekadar lelucon, melainkan kritik serius terhadap kualitas pemikiran dan pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat, termasuk pemimpin muda Indonesia.

“Walaupun orang anggap bahwa itu olok-olok, tetapi begitulah cara kita menguji kecerdasan kita dalam berkelahian ide dengan artificial intelligence,” tegasnya.

Ia melanjutkan dengan peringatan keras: semua pertanyaan yang di-upload ke cloud akan dibaca oleh algoritma AI. “Oh, pertanyaan-pertanyaan dungu itu datang dari wilayah di garis khatulistiwa yang dihubungkan oleh seseorang di Medan dengan seorang di Solo misalnya. Dengan mudah, ‘Oh, kalau peta itu sudah terjadi maka dianggap bahwa ini wilayah kedunguan. Ngapain investasi di tempat di mana pertanyaan itu sangat dangkal?'” jelasnya.

Rocky memberikan ilustrasi yang lebih konkret tentang kondisi saat ini.

“Kita juga bisa hitung itu dengan sekadar bertanya pada artificial intelligence: ‘Berapa banyak pertanyaan dungu yang di-upload oleh anak muda Indonesia hanya karena sekadar FOMO doang?’ Lalu artificial intelligence bilang, ‘Oke, yang di-upload setiap hari ada 200 juta pertanyaan, tapi 199 juta pertanyaan itu sebenarnya bisa dijawab sendiri oleh si penanya,'” paparnya.

Menurutnya, ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia, termasuk anak muda, tidak mendidik otak mereka dalam berkomunikasi dengan artificial intelligence. “Itu problem kita,” tegasnya.

Rocky menegaskan bahwa investor juga akan melihat sumber daya anak-anak muda Indonesia dari cara mereka bertanya pada artificial intelligence.

“Jadi investor juga akan lihat sumber daya anak-anak muda Indonesia ini ditentukan oleh cara dia bertanya pada artificial intelligence. Gampang aja. Nah, kalau pertanyaan itu dangkal alias dungu, itu tidak ada investor yang mau masuk ke Indonesia—kendati politik sudah stabil, kendati kepastian hukum ada. Orang akan lihat bagaimana kemampuan argumentatif dari pemimpin-pemimpin muda di Indonesia,” jelasnya.

Sebelumnya, Rocky juga telah mengkritik fenomena anak pejabat dan orang kaya yang mendominasi posisi kepemimpinan tanpa kapasitas intelektual memadai.

“Apakah cara mengatasi problem dilakukan oleh mereka secara epistemik atau sekadar kinetik? Itu dasarnya. Jadi bukan asal-usul sosialnya yang kita persoalkan, tapi kapasitas dia untuk menghasilkan inovasi,” tegasnya.

Menurut Rocky, tidak mungkin seseorang yang datang dari tradisi hierarki dalam keluarga, dimanjakan secara kapital, mampu berpikir epistemik. “Yang ada adalah kasak-kusuk aja—kasak-kusuk dalam bisnis, kasak-kusuk dalam politik tanpa paradigma berpikir,” kritiknya.

Rocky membedakan antara pemimpin sejati dengan sekadar pelaksana.

“Pemimpin itu dia dipaksa untuk produce notion—itu bukan action—lain dengan aparat di bawahnya. Jadi kalau pemimpin-pemimpin yang datang dari bahkan kelas oligarki tidak mampu untuk memproduksi notion tetapi hanya action, maka yang terjadi adalah gap antara keinginan untuk menghasilkan harapan dan kesempatan yang sebetulnya dia batalkan sendiri,” jelasnya.

Rocky juga menyinggung potensi otak manusia yang tidak dimanfaatkan maksimal.

“Sel otak kita itu—mungkin sel otak Indonesia itu—10.000. Padahal yang diberikan oleh Tuhan itu ada 100 miliar neuron yang dibikin short circuit terus-menerus sehingga kita bisa baca,” ujarnya.

Menurutnya, ini terjadi karena otak tidak pernah dihasilkan melalui akumulasi yang sifatnya dialektis. “Otak yang tidak pernah dihasilkan melalui akumulasi yang sifatnya dialektis itu tidak akan menumbuhkan,” tegasnya.

Rocky mengkritik sistem pendidikan Indonesia yang feudalistik dan menghalangi terciptanya argumentative society.

“Murid harus dibiasakan untuk membantah guru. Murid harus diajarkan untuk menggeleng ketika guru mengajar, bukan mengangguk-angguk. Dengan itu otaknya itu bekerja. Kalau kita menggeleng, itu artinya otak kita mencari cara untuk membantah si guru, dan itu bagus. Walaupun secara budaya itu buruk, tetapi justru dengan cara itu otak kita mengalami dialektisasi,” jelasnya.

Namun, guru kadang menganggap dibantah muridnya sebagai sikap tidak sopan. “Guru kadang kala menganggap dibantah muridnya, ‘Ini guru, saya guru, kalian tidak boleh membantah guru.’ Ya, itu artinya otak kita dibikin dangkal,” kritiknya.

Dalam closing statement-nya, Rocky menegaskan pentingnya membangun argumentative society.

“Kultur membekali kita dengan fasilitas bahwa di dalam satu komunitas yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, maka yang diajukan pertama kali adalah argumen, bukan sentimen. Dengan cara itu, otak kita melatih untuk mengantisipasi argumen dari pihak yang berbeda dengan kita,” jelasnya.

Rocky juga memperingatkan bahaya neurotic society—masyarakat yang neurotik.

“Neuroscience itu dipakai untuk menjegah jangan sampai masyarakat kita menjadi neurotic society. Dan kebanyakan neurotic society itu menghasilkan para demagog yang sekadar berbusa-busa tapi tanpa runtutan pikiran yang logis,” tegasnya.

Rocky menutup dengan seruan untuk menghasilkan pemimpin sejati, bukan pedagang kekuasaan.

“Itu yang akan memungkinkan kita menghasilkan leader di masa depan dan menghalangi dealer masuk di dalam persaingan politik,” pungkasnya.

Sindiran pedas Rocky tentang “Gibran butuh brain care” langsung menjadi perbincangan hangat di media sosial, dengan banyak netizen yang menjadikannya meme dan materi diskusi tentang kualitas kepemimpinan anak muda Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

DPD Award Bentuk Pengakuan Nasional terhadap Kontribusi Tokoh Daerah

29 Oktober 2025 - 17:44 WIB

Strategi Networking saat Pulang ke Indonesia bagi Pelajar Indonesia

29 Oktober 2025 - 16:23 WIB

Pesan Anies untuk Diaspora Indonesia

29 Oktober 2025 - 15:21 WIB

Populer NASIONAL