Menu

Mode Gelap
DPD Award Bentuk Pengakuan Nasional terhadap Kontribusi Tokoh Daerah Strategi Networking saat Pulang ke Indonesia bagi Pelajar Indonesia Pesan Anies untuk Diaspora Indonesia Teknokrasi Harus Memimpin, Bukan Didominasi Politik Kunci Sukses “Pulang Kampung” dari Negeri Orang Jangan Jadi “Melayu Kecil” di Negeri Orang

POLITIK

Kegelisahan Anak Muda Bukan soal Ekonomi, tapi soal Ini

badge-check


					Foto: Rocky Gerung (pemerhati lingkungan) dalam acara Kajian Subuh Ilmiah Alam dan Kita dalam Perspektif Agama dan Sains/tangkapan layar Perbesar

Foto: Rocky Gerung (pemerhati lingkungan) dalam acara Kajian Subuh Ilmiah Alam dan Kita dalam Perspektif Agama dan Sains/tangkapan layar

INAnews.co.id, Jakarta– Pengamat politik, Rocky Gerung melontarkan kritik tajam terhadap akar permasalahan anak muda Indonesia. Menurutnya, kegelisahan generasi muda saat ini bukanlah masalah ekonomi atau psikologi, melainkan fatalisme politik yang disebabkan oleh bayang-bayang dinasti politik.

“Kegelisahan generasi hari ini adalah kegelisahan politik, bukan kegelisahan ekonomi, bukan kegelisahan psikologi,” tegas Rocky dalam program Indonesia Leaders Talk (ILT) yang disiarkan Kanal YouTube Mardani Ali Sera, Jumat (24/10/2025).

Rocky menyoroti bagaimana anak muda Indonesia kehilangan motivasi karena melihat kompetisi politik 2029 sudah “diatur” untuk dimenangkan oleh Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden.

“Akan ada harapankah mereka di 2029 bila kompetisi politik dari hari ini sudah diinsinuasikan untuk dimenangkan oleh pemilik ‘gajah merah’? Coba bayangkan, konsep-konsep ini yang membuat anak-anak muda ini jadi fatalis saja. Ngapain mereka belajar? Kalau ke mana pun kemampuan intelektual dia diinvestasikan akan berhadapan dengan Gibran di 2029,” ujarnya.

Rocky menegaskan, secara awal anak muda sudah fatalistik karena menganggap meritokrasi tidak akan berjalan. “Karena itu ada kemarahan sosial, karena itu ada kegelisahan psikologi itu,” tambahnya.

Dengan nada sarkastik, Rocky menyebut, “Satu-satunya yang membuat mereka gelisah adalah masih adanya anak kecil jadi wakil presiden diselundupkan oleh bapaknya untuk memuluskan dinastinya.”

Menurutnya, memori tentang dinasti politik ini tersimpan di hippocampus—bagian otak yang menyimpan memori jangka panjang—dan terus mempengaruhi persepsi anak muda terhadap masa depan mereka.

Rocky memberikan ilustrasi nyata tentang dilema yang dihadapi anak muda cerdas. Ia menceritakan pengalamannya memberi kuliah di Warsawa, Polandia, di mana dua mahasiswa Indonesia lulusan ITB yang baru selesai PhD bertanya kepadanya.

“Pak, oke kami baru selesai PhD. Yang satu belajar tentang nuklir, yang satu belajar tentang pengendalian air. Sekarang problem kami: harus pulang apa tidak ke Indonesia?” kenang Rocky.

Mereka menghadapi dilema: kalau tidak pulang, mereka berhutang moral karena dibiayai LPDP. Kalau pulang, mereka akan berhadapan dengan bos yang tugasnya setiap hari menyuruh mereka mark up anggaran.

“Jadi bayangkan dilema etisnya ada di situ. Dia kalau pulang, dia akan kembali mengabdi pada bosnya yang koruptor. Kalau dia tidak pulang, dia merasa bertanggung jawab dan malu terhadap negara,” jelasnya.

Rocky memperingatkan ancaman serius brain drain atau pelarian talenta ke luar negeri.

“Selama faktor-faktor yang menghalangi mereka—terutama soal rezim Jokowi yang masih cangkang-cangkang—maka jangan harap anak-anak ini akan muncul dengan ide-ide yang cemerlang. Mereka punya ide cemerlang, tapi akan mereka cemerlangkan itu di Tokyo, mereka akan cemerlangkan itu di Hong Kong, cemerlangkan itu di Turki dalam bentuk brain drain,” tegasnya. Ini adalah intellectual capital outflow yang mesti dihitung sejak sekarang, menurutnya.

Rocky menciptakan istilah baru untuk menggambarkan fenomena ini: anak muda memilih menjadi dealer ketimbang leader.

“Kalau orang yang gelisah, ya sudah dia cari penyelesaian dengan cara fear of missing out, maka dia tidak mungkin memimpin lagi itu. Jadi dia memilih menjadi dealer ketimbang menjadi leader,” kritiknya.

Rocky menekankan perlunya menghilangkan penghalang yang menyebabkan anak muda menjadi pesimis dan uncertain dalam memandang masa depan.

“Apa penghalangnya? Ya, Gibran. Apa penghalang? Ya, Jokowi. Cuman itu yang ada di dalam deep psychology mereka. Jadi mereka bukan tidak mampu bersaing, tapi mereka menganggap ngapain dari sekarang mempersiapkan diri kalau pada akhirnya meritokrasi itu ditentukan oleh amplop, ditentukan oleh lembaga survei, bukan oleh prestasi akademis mereka,” paparnya.

Menurutnya, anak muda menjadi anomi—merasa tidak ada gunanya punya aturan, tidak ada gunanya dia sebagai manusia—karena korupsi dalam kebijakan pemerintahan.

Rocky menutup dengan seruan: “Anak-anak muda ini mesti diberi kepastian politik, bukan uncertainties, tetapi kepastian politik bahwa demokrasi akan fair play di 2029. Itu dasarnya.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

DPD Award Bentuk Pengakuan Nasional terhadap Kontribusi Tokoh Daerah

29 Oktober 2025 - 17:44 WIB

Strategi Networking saat Pulang ke Indonesia bagi Pelajar Indonesia

29 Oktober 2025 - 16:23 WIB

Pesan Anies untuk Diaspora Indonesia

29 Oktober 2025 - 15:21 WIB

Populer NASIONAL