Menu

Mode Gelap
DPD Award Bentuk Pengakuan Nasional terhadap Kontribusi Tokoh Daerah Strategi Networking saat Pulang ke Indonesia bagi Pelajar Indonesia Pesan Anies untuk Diaspora Indonesia Teknokrasi Harus Memimpin, Bukan Didominasi Politik Kunci Sukses “Pulang Kampung” dari Negeri Orang Jangan Jadi “Melayu Kecil” di Negeri Orang

SOSIAL

Media Sosial Bikin Otak Anak Muda Indonesia “Membusuk”

badge-check


					Foto: Pratiwi/tangkapan layar Perbesar

Foto: Pratiwi/tangkapan layar

INAnews.co.id, Jakarta– Pratiwi Kristin, PhD student Applied Cognitive Neuroscience dari Tokyo, mengungkap dampak mengkhawatirkan media sosial terhadap perkembangan otak anak muda Indonesia. Ia menyebut istilah brain rot (pembusukan otak) kini menjadi ancaman nyata bagi generasi muda.

“Itu sebenarnya literally tidak benar-benar busuk otak, tapi penurunan kognisi kita gara-gara kebiasaan kita selalu mengonsumsi konten-konten instan,” jelas Pratiwi dalam program Indonesia Leaders Talk (ILT), Jumat (24/10/2025).

Pratiwi mencontohkan kebiasaan menonton TikTok dengan cara swipe terus-menerus. “Pernah tidak lihat TikTok? Lihat swipe-swipe-swipe, itu otak jadi overload, bikin lemah,” ungkapnya.

Yang lebih mengkhawatirkan, ketika melihat konten-konten seperti itu, orang tidak melibatkan fungsi pemahaman. “Akhirnya otak tidak dibiasakan untuk bisa memahami sesuatu. Itu yang kemudian jadi problem. Sekarang attention span kita berkurang, kemampuan kita memahami sesuatu juga semakin berkurang. Memahami satu kalimat aja sudah sulit sekarang. Memahami guru berbicara juga jadi sulit,” kritiknya.

Pratiwi menjelaskan dari sudut pandang neuroscience bahwa otak manusia berkembang dari kecil hingga dewasa. Dari beberapa riset, maksimal perkembangan otak manusia sempurna di usia 25 tahun, namun riset terbaru menyebutkan mundur menjadi 30 tahun.

“Anak remaja ini otaknya masih belum sempurna. Ingat tidak waktu zaman remaja betapa susahnya dikasih tahu? Kenapa? Karena bagian otak depan yang namanya prefrontal cortex—bagian otak yang berfokus kepada berpikir kritis, berpikir rasional—itu sedang berkembang,” jelasnya.

Masalahnya, remaja sekarang digempur dengan banyak informasi dari media sosial sementara otaknya belum siap. “Otak ketika digempur berbagai macam informasi, otak kita bisa kelelahan. Akhirnya bisa memunculkan rasa stres, kita jadi kelelahan, jadi burnout juga. Secara biologis, otak kita menyerap seperti itu dan otak kita bisa lelah,” paparnya.

Pratiwi mengungkap mekanisme biologis di balik rasa iri dan rendah diri saat melihat kehidupan orang lain di media sosial.

“Dalam neuroscience terkait masalah membandingkan ini, kenapa kita jadi sebegitunya terpicu? Karena ada yang namanya social comparison process. Kalau di area otak itu ada yang namanya insula, ada yang namanya anterior cingulate cortex. Ini aktif saat kita melihat orang lain itu tampak lebih baik, tampak lebih ganteng,” jelasnya.

Yang mengejutkan, dari sisi otak sinyal itu terasa seperti ancaman sosial. “Ini bikin sakit secara emosional, mirip-mirip rasa sakit fisik. Jadi ketika orang bilang, ‘Ih, aku sakit nih aku lihat orang kayak gitu,’ itu bukan perumpamaan. Itu sebenarnya respon biologis kita,” tegasnya.

Pratiwi membandingkan kondisi zaman dulu dan sekarang. “Sebelum era media sosial, perbandingan itu kan terbatas pada lingkar kecil kita. Sekarang ruang perbandingan melebar luar biasa. Otak kita lelah untuk melihat itu semua. Kita yang tinggal di kota kecil bisa melihat kehidupan di Tokyo,” ungkapnya.

Ia juga menjelaskan mengapa orang begitu terikat dengan media sosial dari sisi neurologis.

“Ada rasa puas ketika kita melihat atau mendapat pengakuan di media sosial. Ini juga punya dasar biologisnya. Ada yang namanya nucleus accumbens yang melepaskan dopamin—hormon kepuasan. Ketika kita dapat like atau perhatian, itu memberi sensasi senang. Tapi sayangnya sifatnya sementara,” jelasnya.

Yang berbahaya, otak belajar bahwa sumber kepuasan datang dari luar—dari notifikasi, dari komentar, dari angka. “Semakin kita sering mencari, semakin otak itu menganggap itu kebutuhan utama. Ini bahayanya kalau anak-anak muda kita sekarang terlalu cepat untuk memanfaatkan media sosial ini—dia mendapatkan kesenangan luar biasa untuk itu, dia jadi melupakan dirinya, melupakan kesadaran dirinya. Bahkan dia tidak melatih bagaimana untuk bisa berpikir jauh lebih kritis,” kritiknya.

Pratiwi menjelaskan konsep penting dalam neuroscience: neuroplastisitas.

“Otak kita ini punya yang namanya sifat neuroplastisitas. Jadi setiap kita melakukan interaksi, kita melakukan sesuatu, otak kita ini akan terus beradaptasi. Otak kita ini punya yang namanya jalur-jalur saraf. Ketika jalur saraf ini dibentuk, kita belajar hal yang baru,” jelasnya.

Ia memberi contoh: kalau seseorang hanya punya niat olahraga tanpa melakukannya, jalur sarafnya masih tipis. “Maka kita akan terus harus menebalkan jalur saraf kita agar polanya itu kemudian dikenali oleh otak,” ungkapnya.

Ini menjelaskan mengapa kebiasaan-kebiasaan hidup sangat mempengaruhi cara berpikir. “Bagi anak-anak muda zaman sekarang, kebiasaan-kebiasaan hidupnya dia akan mempengaruhi dirinya juga—mempengaruhi bagaimana cara berpikirnya dia, bagaimana cara otaknya itu juga mengenal sesuatu,” paparnya.

Menanggapi data bahwa IQ rata-rata orang Indonesia 78, Pratiwi menegaskan ini bukan takdir yang tidak bisa diubah.

“Itu memang ada, tapi sebenarnya itu tidak harus menjadikan kita menjadi rendah diri. Karena apa? Kalau dilihat dari sudut pandang ilmu otak dan ilmu saraf, semua itu tergantung dari bagaimana cara kita melatih otak kita,” tegasnya.

Pratiwi menekankan bahwa kemampuan berpikir kritis bukanlah bakat bawaan.

“Orang yang bisa berpikir kritis itu bukan bakat, tapi dia melatih dirinya untuk terus bisa berpikir kritis. Maka otak pun juga mengenali pola tersebut,” jelasnya.

Ia memberi contoh figur seperti Rocky Gerung yang sangat kritis dalam melihat persoalan. “Kalau seperti senior kita ini, Pak Rocky, dengan begitu cadasnya, bernasnya dalam melihat berbagai macam persoalan, melihat dari helicopter view, itu semua kan karena selalu dilatih dari zaman dulu sampai sekarang untuk melihat segala sesuatunya menjadi lebih kritis. Nah, itu harus diajarkan di sekolah sehingga kita menjadi terbiasa,” tegasnya.

Pratiwi mengkritik sistem pendidikan Indonesia yang belum optimal melatih kemampuan kognitif siswa.

“Problemnya guru-guru kita ini mungkin belum banyak yang memang punya kemampuan untuk melatih kognisi. Jadi banyak sekadar transfer ilmu saja, mengajar begitu. Tapi dalam neuroscience, ketika kita berkomunikasi, kita ingin melakukan persuasi misalnya ke anak didik, itu ada tekniknya. Bagaimana kita membangun kurikulum berdasarkan cara kerja otak misalnya, itu juga menjadi salah satu yang perlu kita pertimbangkan sekarang,” kritiknya.

Pratiwi mempertanyakan kebijakan pendidikan terbaru yang tidak berbasis riset neuroscience.

“Sekarang ini, idol kita bikin kurikulum baru—harus belajar coding di usia muda. Apakah cocok belajar coding di usia-usia yang masih kecil misalnya begitu? Itu harus ada kajian-kajiannya juga. Harus bangun pagi jam 5.00 ke sekolah. Apakah cocok berdasarkan dengan cara kerja otak yang saya harapkan? Itu ada kajiannya ketika memunculkan kebijakan-kebijakan seperti itu,” kritiknya.

Menurutnya, anak-anak yang masih kecil otaknya sedang berkembang. Kalau di-disrupt dengan sesuatu yang tidak membuat otak mereka berkembang dengan baik, itu juga akhirnya akan merusak mereka, merusak mentalnya juga.

Pratiwi sepakat dengan Rocky Gerung bahwa salah satu penyebab brain drain adalah komunikasi publik pemerintah.

“Karena apa? Karena komunikasi publik dari pemerintah ini tidak bisa memberikan kepastian secara psikologis. Itu saya sepakat untuk itu. Ini juga menjadi catatan. Kalaupun memang ada kebijakan-kebijakan yang sekiranya oke, tapi dimaknai keliru juga, akhirnya jadi memunculkan pendapat yang berbeda, persepsi yang berbeda juga,” jelasnya.

Pratiwi menjelaskan respons otak manusia terhadap ancaman atau ketidakpastian.

“Otak manusia kan ada respons flight, ada fight. Beberapa dari kita punya respons tersendiri itu ketika kita menemukan ancaman ketidakpastian: ada yang pengin fight, ada yang pengin lari aja—’Oh ya udahlah aku pengin lari aja’—akhirnya banyak brain drain,” jelasnya.

Dalam closing statement-nya, Pratiwi memberikan pesan kepada anak muda.

“Kita harus bisa melatih otak kita agar kita bisa keluar dari masa-masa ansietik. Jangan kita menyalahkan hanya dengan keadaan kita aja. Jangan hanya menyalahkan hanya kepada pemerintah, tapi kita juga harus punya daya juang kita juga,” tegasnya.

Ia menekankan: “Otak itu bukan dibuat untuk berlomba, tapi untuk belajar. Dan ketika kita belajar memilih apa yang kita lihat, kita juga belajar menjaga diri kita. Karena otak akan beradaptasi untuk itu.”

Pratiwi menutup dengan optimisme: “Manusia itu sudah dibekali Tuhan kemampuan yang luar biasa. Tinggal gimana kita bisa mengoptimalkan dan mensyukurinya menjadi diri kita yang terbaik.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

DPD Award Bentuk Pengakuan Nasional terhadap Kontribusi Tokoh Daerah

29 Oktober 2025 - 17:44 WIB

Strategi Networking saat Pulang ke Indonesia bagi Pelajar Indonesia

29 Oktober 2025 - 16:23 WIB

Pesan Anies untuk Diaspora Indonesia

29 Oktober 2025 - 15:21 WIB

Populer NASIONAL