INAnews.co.id, Jakarta– Generasi Z dan milenial Indonesia kini dijuluki sebagai the anxious generation—generasi yang paling merasa cemas dan terombang-ambing dalam hidupnya. Di balik gaya hidup instagramable dan konten media sosial yang gemerlap, tersimpan fakta kelam: jeratan utang, tekanan ekonomi, dan krisis identitas yang mencekik.
Diah Ayu, peneliti ekonomi digital dari CELIOS yang berusia 25 tahun, mengungkap realitas pahit generasinya dalam diskusi “Anak Muda Multi Problema” di program Indonesia Leaders Talk (ILT), Jumat (24/10/2025).
Data OJK menunjukkan lonjakan dramatis pengguna paylater di kalangan muda. “Pada bulan Juni 2024 jumlahnya masih sekitar 9,9 juta. Tetapi saat Juni 2025, jumlah penerima aktif dan pengguna paylater di usia muda 19 sampai 34 tahun itu melonjak jadi 15 juta,” ungkap Diah.
Rata-rata pembiayaan paylater mencapai Rp1,5 sampai Rp3 juta per bulan. Jika dibandingkan dengan UMR DKI Jakarta sebesar Rp5,5 juta, ini memakan 30-40 persen gaji—angka yang sangat mengkhawatirkan untuk utang konsumtif.
Diah menyoroti fenomena unik yang ia sebut sebagai “Negeri Blok M”—kawasan di Jakarta Selatan yang menjadi surganya kafe aesthetic dengan harga selangit.
“Blok M itu disebut negara sendiri sekarang kalau Gen Z bilang, karena di sana banyak banget yang jualan matcha ceremonial grande yang harganya Rp75.000 sampai Rp100.000 untuk 1 cup berukuran 100 sampai 200 ml,” ungkapnya.
Harga ini sangat overprice jika dibandingkan dengan UMR. “Tetapi karena kebutuhan tuntutan konten, karena kebutuhan untuk validasi dari media sosial dan internet, maka mereka berlomba-lomba untuk datang—istilahnya FOMO (fear of missing out)—takut ketinggalan tren, takut ketinggalan konten,” jelasnya.
Ironisnya, menurut laporan Millennial and Gen Z Report di ID Report, 66 persen milenial dan Gen Z mengakui bahwa kesulitan terbesar dari pengelolaan uang adalah biaya hidup yang semakin meningkat.
“Tapi karena adanya kemudahan transaksi, kemudahan akses paylater, mereka terpaksa untuk melakukan paylater tersebut,” ungkap Diah.
Pratiwi Kristin, PhD student neuroscience dari Tokyo, menjelaskan mekanisme biologis di balik perilaku ini.
“Ada rasa puas ketika kita melihat atau mendapat pengakuan di media sosial. Ada yang namanya nucleus accumbensyang melepaskan dopamin—hormon kepuasan. Ketika kita dapat like atau perhatian, itu memberi sensasi senang. Tapi sayangnya sifatnya sementara,” jelasnya.
Otak belajar bahwa sumber kepuasan datang dari luar—dari notifikasi, dari komentar, dari angka. “Semakin kita sering mencari, semakin otak itu menganggap itu kebutuhan utama,” tambahnya.
Di sisi lain, media sosial juga memicu social comparison process yang membuat anak muda merasa rendah diri.
“Dalam neuroscience, ada yang namanya insula, ada yang namanya anterior cingulate cortex. Ini aktif saat kita melihat orang lain itu tampak lebih baik. Dari sisi otak, sinyal itu terasa seperti ancaman sosial. Ini bikin sakit secara emosional, mirip-mirip rasa sakit fisik. Jadi ketika orang bilang, ‘Aku sakit nih aku lihat orang kayak gitu,’ itu bukan perumpamaan. Itu sebenarnya respon biologis kita,” jelas Pratiwi.
Diah juga menyoroti ketimpangan ekonomi makro yang memperparah kondisi anak muda.
“Tingkat inflasi ini lebih dari 2,5 persen setiap tahunnya tetapi pertumbuhan gaji setiap tahun Indonesia hanya 2 persen. Bagaimana kita bisa hidup membiayai hidup kita sehari-hari?” tanyanya retoris.
Ia memberikan contoh konkret: harga beras per kilogram yang tahun lalu di bulan Agustus masih Rp13.500, kini sudah Rp16.000. “Kenaikan yang sangat tajam dan signifikan, tetapi gaji UMR tidak begitu naik,” tegasnya.
Kondisi diperparah bagi mereka yang menjadi generasi sandwich—harus membiayai keluarga, adik-adik, orang tua, dengan kebutuhan pokok yang terus meningkat.
“Apalagi kalau seorang Gen Z dan milenial ini adalah generasi sandwich yang harus membiayai keluarganya, adik-adiknya, orang tuanya, tetapi dengan kebutuhan pokok kehidupan yang terus meningkat, harga barang pokok yang tidak stabil,” ungkap Diah.
Diah menegaskan bahwa kesehatan mental kini menjadi pertimbangan utama Gen Z dalam memilih tempat kerja.
“Gen Z juga merasa bahwa ketika mencari pekerjaan, selain adanya banyak opportunity seperti perlindungan kesehatan, adanya bonus-bonus akhir tahun, mereka juga melihat apakah kantor tersebut menjamin kesehatan mental mereka. Gen Z bilang kalau kesehatan mental ini sekarang lebih penting,” jelasnya.
Namun, masih banyak yang menganggap alasan kesehatan mental sebagai ketidakmampuan bekerja. “Masih banyak mereka yang beranggapan bahwa Gen Z tidak bisa kerja, milenial tidak bisa kerja kalau mereka beralasan sakit karena harus ke psikolog, sakit harus ke psikiater. Dan mereka kerap menyalahkan diri mereka sendiri yang tidak capable,” ungkap Diah.
Pratiwi mengungkap fenomena brain rot—penurunan kognisi akibat kebiasaan mengonsumsi konten-konten instan.
“Pernah tidak lihat TikTok? Lihat swipe-swipe-swipe, itu otak jadi overload, bikin lemah. Ketika kita melihat sesuatu, kita tidak melibatkan fungsi pemahaman kita. Akhirnya otak tidak dibiasakan untuk bisa memahami sesuatu. Sekarang attention span kita berkurang, kemampuan kita memahami sesuatu juga semakin berkurang. Memahami satu kalimat aja sudah sulit sekarang,” kritiknya.
Pratiwi membandingkan kondisi zaman dulu dan sekarang.
“Sebelum era media sosial, perbandingan itu kan terbatas pada lingkar kecil kita. Nah, jadi ya itulah perbedaannya. Sekarang ruang perbandingan melebar luar biasa. Otak kita lelah untuk melihat itu semua. Kita yang tinggal di kota kecil bisa melihat kehidupan di Tokyo,” ungkapnya.
Diah juga menyoroti gelombang PHK di perusahaan ekonomi digital dan bank digital.
“Kalau saya lihat di teman-teman saya yang seusia saya, banyak banget yang kena layoff bulan ke belakang ini. Banyak sekali yang di-layoff karena: satu, mereka tidak ada revenue, tidak ada benefit, dan juga investor-investor pada hengkang dari Indonesia karena masih minim ease of doing business. Mereka pergi ke Vietnam, mereka pergi ke Filipina,” ungkapnya.
Rocky Gerung menambahkan tentang ancaman brain drain: “Mereka punya ide cemerlang, tapi akan mereka cemerlangkan itu di Tokyo, mereka akan cemerlangkan itu di Hong Kong, cemerlangkan itu di Turki dalam bentuk brain drain.”
Pratiwi menjelaskan respons otak terhadap ketidakpastian.
“Otak manusia kan ada respons flight, ada fight. Beberapa dari kita punya respons tersendiri itu ketika kita menemukan ancaman ketidakpastian: ada yang pengin fight, ada yang pengin lari aja—akhirnya banyak brain drain. Karena apa? Karena komunikasi publik dari pemerintah ini tidak bisa memberikan kepastian secara psikologis,” jelasnya.
Dalam closing statement-nya, Diah menegaskan: “Sebagai masyarakat yang baik dan sayang dan peduli terhadap pemerintah, kami berharap adanya kebijakan yang inklusif, peningkatan literasi, dan digitalisasi yang sama baiknya dari Sabang sampai Merauke, dari barat sampai timur Indonesia. Dan juga adanya harapan-harapan agar pemerintah lebih transparan dan akuntabel.”
Ia menutup dengan tegas: “Mengkritik bukan berarti membenci, tapi adalah bentuk rasa sayang kepada pemerintahan dan juga ingin ikut serta dalam memajukan Indonesia Emas 2045.”
Sementara Pratiwi memberikan pesan optimis: “Kita harus bisa melatih otak kita agar kita bisa keluar dari masa-masa ansietik. Jangan kita menyalahkan hanya dengan keadaan kita aja. Jangan hanya menyalahkan hanya kepada pemerintah, tapi kita juga harus punya daya juang kita juga. Otak itu bukan dibuat untuk berlomba, tapi untuk belajar.”






