INAnews.co.id, Jakarta– Proyek kereta cepat Whoosh, yang sudah dioperasikan, masih menyisakan sejumlah pertanyaan mendasar mengenai proses pengambilalihan dari konsorsium Jepang ke China serta potensi mark-up dalam pembangunannya. Analis Kebijakan Publik, Agus Pambagio, dalam sebuah paparannya, mengungkapkan sejumlah fakta yang ia sebut sebagai “jejak busuk” sejak awal proyek digulirkan.
Agus mengisahkan, proyek kereta cepat sebenarnya sudah direncanakan dengan pinjaman (loan) dari Jepang yang ditandatangani sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, pada 2015, terjadi perubahan drastis.
“Pak Jokowi ke China, kalau saya tidak salah tahun 2015,” ujar Agus, menceritakan bagaimana proposal China kemudian masuk, dalam diskusi publik “Skandal Whoosh-Pintu Masuk Bongkar Korupsi Jokowi”, Rabu (5/11/2025), di Jakarta.
Saat itu, dirinya bahkan didatangi oleh perwakilan China yang meminta bantuan untuk melobi pemerintah, sebuah permintaan yang ditolaknya.
Ide Langsung Presiden dan Perubahan Drastis
Kritiknya yang keras terhadap proyek ini akhirnya membawanya dipanggil oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam pertemuan itu, Agus mengaku terkejut ketika mengetahui bahwa ide membangun kereta cepat dengan China adalah keinginan pribadi Presiden.
“’Pak Presiden, ini ide siapa?’ ‘Ide saya, Mas.’ Saya kaget itu mau jatuh dari kursi, karena saya pikir ini BUMN,” kenangnya. Meski berdebat soal kelayakan ekonomi, Agus menyetujui teknologi tinggi yang ditawarkan. Keputusan untuk melanjutkan proyek dengan China pun diambil.
Proyek kemudian berjalan dengan sejumlah perubahan signifikan, seperti pemindahan lokasi stasiun dari Manggarai dan Karawang menjadi Halim dan Tegalluar. Perubahan ini, menurut Agus, merugikan PT KAI karena pendapatan dari sewa stasiun hilang.
Titik Rawan Korupsi: Konstruksi dan Lahan
Menurut Agus, jika ingin menyelidiki potensi korupsi, fokus harus ditujukan pada proses konstruksi yang dikerjakan oleh BUMN dan mitra China.
“Menurut saya disitulah kalau kita mau bilang ada markup, jelas,” tegasnya.
Ia menyoroti kemungkinan mark-up dalam pembangunan, pembebasan lahan yang belum lunas, dan pembayaran kepada sub-kontraktor yang tertunda meski anggaran sudah turun. Cost overrun (kelebihan biaya) yang terjadi, meski dialaskan karena COVID-19, menjadi salah satu indikator yang perlu diselidiki.
Dokumen Kunci dan Desakan untuk Audit
Agus mendesak KPK untuk memeriksa dokumen-dokumen kunci yang menurutnya mudah didapat. “Minta hasil audit BPKP dari 2015 sampai 2023. Kemudian cari juga dokumen perundingan antara China dengan Indonesia,” pintanya.
Dia yakin dokumen di dalam negeri masih lengkap dan dapat diminta oleh KPK untuk diusut. “Itu bisa dicari, ya pastilah pasti ketemu itu, banyak sekali soal kasusnya,” ujarnya.
Politik di Balik Proyek ‘Busuk’
Agus juga menyentil pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut ada yang “busuk” dalam proyek ini. Menurutnya, istilah “busuk” itu mengindikasikan adanya praktik korupsi yang sudah diketahui sejak dini.
“Kenapa dia teruskan? Kan itu pertanyaannya. Kan harusnya dia tolak,” kata Agus.
Ia menduga, jika kasus ini dibongkar, akan melibatkan banyak pihak, termasuk politisi di DPR. “Jadi kalau ini dibongkar akan kena semua yang busuk-busuk begitu lah,” pungkasnya.
Dengan paparan ini, Agus Pambagio melemparkan bola panas kepada aparat penegak hukum untuk membuka dan mengusut tuntas celah-celah yang berpotensi merugikan negara dalam mega-proyek Whoosh.






