INAnews.co.id, Jakarta– Politisi PKS Mardani Ali Sera mengkritik keras ketimpangan alokasi anggaran antara pemerintah pusat dan daerah. Menurutnya, meski UU Pemda 2014 telah menegaskan 26 urusan diserahkan ke daerah dan hanya 6 urusan di pusat, kenyataannya pusat menguasai 78 persen anggaran sementara daerah hanya mendapat 22 persen.
“Jadi sangat tidak seimbang,” tegas Mardani dalam unggahan di kanal YouTube-nya, Ahad (19/10/2025).
Mardani menyampaikan tiga catatan penting terkait otonomi daerah di Indonesia. Pertama, ia mengakui memang ada beberapa kasus daerah yang memiliki catatan minus dalam penggunaan dana dari pusat. Namun menurutnya, hal ini bisa diperbaiki dengan cara sederhana: memastikan transparansi, akuntabilitas, dan Musrenbang dilakukan dengan baik.
“Reformasi birokrasi dijalankan agar merit sistem, orang-orang terbaik mengelola anggaran dengan baik dan amanah. Pemberantasan korupsi dilakukan di daerah, pusat awasi, awasi, awasi penggunaannya,” jelasnya.
Kedua, Mardani menekankan pentingnya ide-ide besar untuk pengembangan daerah. Ia mencontohkan konsep “one village one product” atau “one province one product” yang pernah ada. Setiap daerah perlu melakukan analisis SWOT pada dirinya sendiri.
“Jakarta beda dengan Banten. Banten beda dengan Lampung. Lampung beda dengan Sumatera Barat,” ujarnya menjelaskan keunikan tiap daerah.
Ia menekankan pentingnya koordinasi antara BAPPENAS dengan BAPPEDA di daerah. Bahkan di beberapa tempat, otonomi basisnya ada di daerah, dengan pusat hanya mengirim orang untuk memastikan keseluruhan program tepat sasaran.
“Tidak ada lagi daerah nunggu aturan dari pusat. Karena apa? Waktu terlalu lama kita dalam middle income countries, terlalu jauh Jakarta itu dan terlalu kompleks daerah itu,” kritiknya.
Ketiga, setelah memberikan otonomi dan melakukan supervisi, pemerintah perlu membangun foreign direct investment (FDI) yang bisa langsung masuk ke daerah. Mardani mengusulkan pemerintah membuat semacam “situation room” yang mengoneksikan investor asing langsung dengan daerah.
“Di beberapa negara maju itu penginnya langsung direct. Misal Denmark dengan Kabupaten Toraja, Swedia dengan Baturaja dan seterusnya,” contohnya.
Mardani memperingatkan bahwa Indonesia hanya memiliki jendela waktu sekitar 5 tahun lebih untuk memanfaatkan bonus demografi. Pasalnya, mulai 2030-an populasi Indonesia akan mulai menyusut dan beban aging society akan lebih besar.
“Ini bukan siapa yang berkuasa, ini bukan siapa yang bisa menang pemilu, tapi ini siapa yang betul-betul bisa membawa Indonesia keluar dari middle income trap countries,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa otonomi daerah bisa menjadi pintu masuk gerbang kesejahteraan masyarakat Indonesia jika dilakukan dengan seksama dan penuh kesadaran. Menurutnya, diperlukan kebesaran jiwa dari presiden untuk membuka ruang bagi daerah untuk tumbuh berkembang, bukan dengan cengkeraman kekuasaan, melainkan dengan bantuan teknokrasi dan kolaborasi.
“Kalau tidak, jangan salahkan kalau banyak kejadian tidak terduga yang mengganggu pembangunan di Indonesia,” pungkasnya.