INAnews.co.id, Jakarta– Dalam sebuah diskusi yang mengkritik tajam proyek kereta cepat Whoosh, sejumlah pakar dari berbagai latar belakang menyatakan bahwa proyek ini dipandang sebagai pintu masuk untuk membongkar praktik korupsi di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Mereka menyoroti indikasi markup harga, kerahasiaan yang mencurigakan, dan kekhawatiran bahwa pernyataan Presiden Prabowo Subianto untuk “mengambil alih” masalah finansialnya dapat berujung pada penutupan kasus korupsi.
Kekecewaan dan Kekhawatiran atas Sikap Prabowo
Muhammad Said Didu, Pengamat Politik, membuka diskusi dengan menyatakan kekecewaan dan kegelisahannya. Ia mengaku “tidak bisa tidur” setelah mendengar pernyataan Presiden Prabowo yang akan mengambil alih tanggung jawab atas proyek Whoosh.
“Kita menaruh harapan kepada Prabowo dengan 4 program: perantas korupsi, wujudkan pemerintahan bersih, ambil alih aset negara, dan singkirkan oligarki di kekuasaan. Itu harapan kita kepada Prabowo. Tapi kemarin seakan-akan saya menyatakan: ‘Aku sudah tidak lagi boleh kalian harapkan dari pemerintahan korupsi, karena aku akan lindungi koruptor-koruptor Jokowi dan kawan-kawan’,” ujar Said Didu dalam diskusi publik “Skandal Whoosh-Pintu Masuk Bongkar Korupsi Jokowi”, Rabu (5/11/2025), di Jakarta.
Ia mempertanyakan komitmen Prabowo dan khawatir pernyataan “ambil alih” itu berarti membangun pelindung bagi pihak-pihak yang diduga terlibat, seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Rini Soemarno, dan Erick Thohir.
Analisis Finansial dan Hukum: Mengapa China Dipilih?
Anthony Budiawan, Ekonom, memaparkan analisis finansial yang menunjukkan ketidakrasionalan pemilihan konsorsium China. Menurutnya, meski nilai proyek Jepang (US$ 6,07 Miliar) dan China (US$ 6,2 Miliar) hampir sama, beban bunganya jauh berbeda.
“Dengan proyek Jepang bunga 0,1%, bunga yang harus dibayar per tahun sekitar 73,35 juta dolar. Kalau dengan proyek China, kita bayar 20 kali lipat, yaitu 1,5 miliar dolar. Ini yang membuat proyek ini tidak bisa berjalan,” jelas Anthony di acara yang sama.
Ia mempertanyakan alasan pemerintah memilih proposal China yang lebih mahal, padahal alasan awal penolakan Jepang adalah karena meminta jaminan pemerintah (G2G). Anthony menegaskan, ketika kemudian terbit Perpres 93/2021 yang mengizinkan pemberian jaminan, seharusnya proyek Jepang-lah yang unggul. Ia juga menyoroti ketidaktransparanan laporan keuangan PT KCIC yang hingga kini tidak dipublikasikan.
Kleptokrasi dan “Jebakan” Kerahasiaan
Ubedilah Badrun, Akademisi, melihat masalah ini dari perspektif yang lebih luas. Ia menyebut Indonesia telah masuk dalam kategori kleptokrasi, dengan korupsi yang permanen. Ia mengutip temuan BPKP yang mengindikasikan kebocoran dana proyek strategis nasional mencapai 36 persen atau sekitar Rp510 triliun.
“Di tengah rakyat sedang susah, di tengah pengangguran terus terjadi, betapa rakusnya kekuasaan ini,” tegas Ubed.
Ubedilah juga menekankan bahwa kerahasiaan adalah ciri utama potensi korupsi. Ia menduga kuat ada sesuatu yang disembunyikan dalam kontrak dengan China, mirip dengan “jebakan utang” yang terjadi di Sri Lanka, dimana pelabuhan Hambantota disita China karena gagal bayar. Ia khawatir wilayah Halim atau aset lainnya dijadikan agunan rahasia.
KPK Dinilai Lamban dan Tak Berani
Thony Saut Situmorang, Eks Pimpinan KPK, dan Petrus Selestinus dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menyoroti kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap lamban dan tak berani.
“KPK itu sudah tidak jujur, KPK itu tidak peduli, KPK itu jadi penakut, KPK itu tidak berani, KPK itu tidak adil,” sebut Saut. Ia menyatakan bahwa dengan puluhan bukti yang sudah terang benderang, seharusnya KPK tidak membutuhkan waktu setahun untuk bergerak.
Petrus menambahkan pengalamannya melaporkan Jokowi ke KPK, yang berujung pada dihentikannya proses dengan alasan “tidak memenuhi syarat”. Ia mencurigai penyelidikan yang diklaim KPK saat ini hanyalah skenario untuk melindungi Jokowi dan kroninya.
“Kita jangan dulu senang dengan pernyataan dia bahwa ‘Kami sudah melakukan penyelidikan’. Keyakinan saya, mereka sedang membangun skenario untuk melindungi Jokowi dan kroni-kroninya,” ujar Petrus.
Pintu Masuk Hukum: Keppres dan Penyalahgunaan Kewenangan
Petrus dan Agus Pambagio, Analis Kebijakan, menunjuk pada Peraturan Presiden (Perpres) sebagai alat hukum yang disalahgunakan. Perpres 93/2021 dan pendahulunya dianggap sebagai pintu masuk korupsi karena mengubah skema pembiayaan dan memberikan kewenangan khusus yang melindungi pejabat proyek strategis nasional dari penyelidikan.
Agus Pambagio, yang mengaku pernah berdialog langsung dengan Jokowi tentang proyek ini, menyatakan bahwa ide Whoosh datang langsung dari Presiden Jokowi. Meski bukan ahli korupsi, Agus menyarankan untuk menyelidiki proses konstruksi yang dikerjakan oleh BUMN Indonesia.
“Kalau kita mau bilang ada markup, jelas… di pembangunannya itulah,” kata Agus. Ia menduga markup terjadi di tingkat pelaksana konstruksi, seperti Wijaya Karya, dan menyarankan KPK untuk mengaudit dokumen perundingan dan laporan BPKP.
Kesimpulan: Harapan Tertumpu pada Tekanan Publik
Diskusi yang melibatkan berbagai pakar ini menyimpulkan bahwa proyek Whoosh sarat dengan indikasi korupsi sistemik. Meski harapan pada KPK hampir pupus, para pembicara sepakat bahwa tekanan publik dan gerakan sipil adalah kekuatan terakhir untuk memaksa pembongkaran skandal Whoosh yang diyakini sebagai pintu masuk untuk mengungkap korupsi di tingkat tertinggi pemerintahan. Pernyataan Presiden Prabowo untuk “mengambil alih” justru dinilai kritis sebagai langkah yang berpotensi mematikan proses hukum dan melindungi rezim korupsi sebelumnya.






