INAnews.co.id, Jakarta – Ketika manusia sepakat atas eksistensi keadilan, maka mau tidak mau keadilan harus mewarnai perilaku dan kehidupan manusia dalam hubungan dengan Tuhannya, dengan sesama individu, dengan masyarakat, dengan pemerintah, dengan alam, dan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya.
Keadilan harus terwujud di semua lini kehidupan, dan setiap produk manusia haruslah mengandung nilai-nilai keadilan, karena sejatinya perilaku dan produk yang tidak adil akan melahirkan ketidakseimbangan, ketidakserasian yang berakibat kerusakan, baik pada diri manusia sendiri maupun alam semesta.
Walaupun keadilan merupakan hal yang esensial bagi kehidupan manusia, namun kadang kala keadilan hanya menjadi bahan perdebatan tiada akhir, apa itu keadilan, bagaimana wujud keadilan, di mana itu keadilan dan kapan seseorang memperoleh keadilan, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang rumit mengenai keadilan, sehingga keadilan muncul hanya sebagai wacana perdebatan, diskusi-diskusi kaum intelektual.
Keadilan harus diwujudkan, agar mampu memaknai supremasi hukum, menghilangkan imparsialitas hukum dan tetap pada entitas keadilan.
Hukum mungkin telah mati jika roh hukum, yaitu keadilan hanya telah menjadi sebuah angan-angan, dan dalam keadaan seperti itu hukum tidak lagi kondusif bagi pencari keadilan (justitiabelen)
Masyarakat sebagai konsumen hukum tidak lagi dapat menikmati cita rasa keadilan sehingga masyarakat hanya mendapatkan ketidakadilan.
Hukum bukan lagi tempat yang kondusif untuk menciptakan keharmonisan dan keserasian sosial, bahkan hukum telah menjelma menjadi neo-imperium (penjajah baru) di mana keadilan telah tereliminasi dan hukum menjadi sesuatu yang anarki.
Oleh karena hukum dan keadilan telah terpisahkan, maka keadilan dianggap sebagai pihak oposisi dan hukum.
Ketika masyarakat menuntut keadilan, hukum begitu reaktif dengan melakukan rasionalisasi prosedural hukum, kualitas kepastian dan alasan-alasan lainnya. Masyarakat begitu apatis terhadap hukum karena hukum telah kehilangan kepercayaan (loosing trust)
Masyarakat lebih memilih jalan sendiri untuk menyelesaikan konflik yang mengganggu kepentingan sosial.
Hukum dan keadilan sebenarnya adalah dua elemen yang saling bertaut yang merupakan “conditio sine quc non” bagi yang lainnya.
Supremasi hukum yang selama ini diidentikkan dengan kepastian hukum sehingga mengkultuskan undang-undang, menjadi titik awal timbulnya masalah penegakan hukum.
Lembaga Peduli Nusantara berpendapat bahwa pemikiran ini sebenarnya tidak salah, namun bukan berarti absolut benar adanya.
Undang-undang memàng harus ditempatkan sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan karena merupakan manifestasi konsensus sosial (walaupun dalam banyak hal undang-undang tidak lebih dan sebuah manipulasi hukum).
Kita tidak boleh menutup mata dan telinga bahwa konsensus ini adalah sebuah momentum sesaat yang tidak mampu mengikuti arah gerak keadilan yang terus bergerak mengikuti waktu dan ruang.
Konsensus ini sifatnya hanya sementara dan bukan permanen, sebab rasa keadilan akan bergerak cepat mengimbangi suksesi ritme dan ruang.
Rasa keadilan terkadang hidup di luar undang-undang, yang jelas undang-undang akan sangat sulit untuk mengimbanginya. Begitu pula sebaliknya undang-undang itu sendiri dirasakan tidak adil.
Ketika rasa keadilan ini benar-benar eksis dan dirasakan oleh mayoritas kolektif, maka kepastian hukum akan bergerak menuju rasa keadilan itu sendiri, Kepastian hukum adalah rasa keadilan itu sendiri sebab keadilan dan hukum bukanlah dua elemen yang terpisah.
Hukum adalah manifestasi eksternal keadilan dan keadilan adalah internal autentik dan esensi roh wujud hukum.
Sehingga supremasi hukum (supremacy of law) adalah supremasi keadilan (supremacy of justice) begitu pula sebaliknya, keduanya adalah hal yang komutatif.
Hukum tidak berada dalam dimensi kemutlakan undang-undang, namun hukum berada dalam dimensi kemutlakan keadilan.
Hukum tidak akan mampu bertahan hidup apabila roh keadilan telah hilang.
Akibat distorsi pemikiran hukum dengan hilangnya integritas hukum menyebabkan hukum terasa belum mampu menjadi sarana produksi keadilan.
Komponen aparat hukum seperti produsen peraturan perundang-undangan ataupun penegak hukum belum mampu menjadi produsen keadilan (justice producer), hal ini disebabkan produsen peraturan perundang-undangan tidak mampu menempatkan keadilan sebagai roh perundang-undangan, maupun penegak hukum sendiri tidak memiliki integritas moral yang tinggi.
Masyarakat sering bertanya ke mana keadilan tersebut, dan yang selalu dijawab oleh pemerintah/aparatur hukum dengan argumentasi-argumentasi prosedural hukum.
Sebenarnya aparatur hukum tidak menyadari bahwa hal tersebut adalah ekspresi ketidaktahuan hukum (ignorantia juris), di mana hukum telah mensubversi keadilan).
Realita keadilan inilah yang membuat makna keadilan menjadi hilang dalam perjalanan hukum bangsa ini Pada lapisan horizontal, anarkisme sosial menjadi potret keseharian hukum.
Kekecewaan pada potret penegakan hukum pada lapisan elite yang sangat berbeda perlakuannya (unequal treatment), eksklusivisme bagi elite yang melanggar hukum menjadi stimulan kekecewaan masyarakat.
Keadilan pada bangsa ini telah menjadi sesuatu yang langka, negara belum mampu memberi jaminan lahirnya peraturan perundang-undangan yang memiliki roh keadilan,serta tegaknya hukum yang bersandar pada keadilan.
Makna keadilan seolah-olah tereliminasi oleh penegakan hukum, karena konsep hukum yang adil demokratis belum menjadi sebuah realita yang dapat memberikan suatu jaminan bahwa hukum mampu memberi solusi yang adil bagi masyarakat.
Manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang terdiri atas roh dan jasad memiliki daya rasa dan daya pikir yang dua-duanya merupakan daya rohani, di mana rasa dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan, karena yang dapat menentukan baik dan buruk adalah rasa.
Manusia dalam semua perbuatannya akan selalu mengejar sesuatu yang baik, sesuatu yang dikejar atau dituju oleh kehidupan manusia.
Perbuatan manusia merupakan ekspresi dan bisikan-bisikan kalbu. Seluruh sifat yang muncul dan hati akan terekspresikan anggota tubuh, sehingga hati adalah pemegang kendali dan anggota tubuh tunduk kepada Nya.
Sehingga tidak ada perbuatan yang dilakukan anggota tubuh kecuali atas tanda-tanda dan hati. Jika hati suci, maka perbuatan akan baik. Perbuatan manusia akan bernilai jika perbuatan tersebut baik dan bermanfaat yang lahir dan bisikan hati yang suci.
Referensi :
Gustav Radbruch mengingatkan bahwa dalam produk perundang-undangan (‘Gezets’) kadang kala terdapat Gezetsliches Unrecht, yakni ketidakadilan di dalam undang-undang, sementara tidak sedikit ditemukan ubergezetsliches Recht.
Pandangan Gustav Radbruch dimuat dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Gezetsliches Unrecht und ubergezetsliches Recht’ dimuat dalam Suddeutche Juristen-Zeitung, penerbitan bulan Agustus 1946, nomor 5, kurang lebih tiga tahun sebelum filsuf hukum kenamaan, berkebangsaan Jerman ini meninggal dunia di negerinya pada tanggal 23 November 1949.
Ahmad Mahmud Suljhj, Filsafat Etika, 2001. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semect , halaman 22.
Penulis : Arthur Noija






