INAnews.co.id, Jakarta – Masyarakat adat sebagai subjek hukum harus diakui dahulu melalui penetapan Peraturan Daerah (Perda).
Wilayah adatnya sebagai objek diajukan ke Menteri untuk ditetapkan sebagai Hutan Hak bagi masyarakat adat yang bersangkutan.
Jika hutan adat atau wilayah adat berada di Areal Penggunaan Lain (APL), maka penetapannya cukup dengan Surat Keputusan Kepala Daerah.
“Sedangkan untuk wilayah adat yang berada di hutan negara, maka dilakukan melalui penetapan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan masyarakat hukum adat untuk kemudian ditetapkan oleh Menteri sebagai hutan hak yang merujuk kepada Permen LHK no 32 tahun 2015,” jelas Arthur Noija selaku Ketua Lembaga Peduli Nusantara di Jakarta, Kamis 9 juli 2020.
Tambahnya, saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sedang melakukan pendampingan kepada daerah untuk menyusun Perda penetapan masyarakat hukum adat.
“Lembaga Peduli Nusantara berpendapat bahwa hal ini terjadi karena belum adanya Perda, hak-hak masyarakat adat belum diakui melalui Peraturan daerah sehingga Hutan Tanaman Industri (HTI) bisa masuk ke wilayah adat yang saat ini areal itu masih berstatus hutan negara,” jelasnya.
Masalah wilayah adat, menurut Roland ketika pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan melalui Perda. Maka hak tradisional dan pengetahuan tradisionalnya pun akan termasuk dalam pengakuan itu.
Lembaga Peduli Nusantara (LPN), berdasarkan hasil investigasi dan nonlitigasi bahwa, fakta dilapangan yang terjadi seperti di Papua contoh buah merah dari Papua, karena tidak ada pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat di Papua maka hak paten obat dari buah merah diambil oleh pihak lain.
“Pengertian masyarakat hukum adat pada prinsipnya sama dengan pengertian masyarakat adat versi AMAN dan bahkan ada yang menyebutnya indigeous peoples,” terang Ketum LPN.
Untuk itu Lembaga Peduli Nusantara berpendapat bahwa kepada DPRD kabupaten Berau provinsi Kalimantan Timur menyesuaikan penyebutan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dengan menyesuaikannya dengan kondisi lokal.
Lembaga Peduli Nusantara berpendapat bahwa masyarakat hukum adat telah ada sebelum berdirinya Republik Indonesia.
Bahwa UUD 1945 pada 18B ayat 2 menyebutkan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang.
“Namun kelemahannya adalah belum ditetapkannya rancangan undang-undang tentang masyarakat hukum adat,” tegas Arthur.
Selain itu pemerintah daerah juga belum menetapkan regulasi hukum tentang pengakuan masyarakat hukum adat. Masalah lainnya menurut Willianto adalah tidak ada SKPD yang secara khusus mengurusi Masyarakat Hukum Adat.
Lembaga Peduli Nusantara team investigasi dan nonlitigasi berpendapat bahwa, amanat Permendagri Nomor 52 tahun 2014 adalah agar Gubernur dan Bupati, Walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dengan cara membentuk Panitia masyarakat hukum adat di kabupaten atau kota yang akan melakukan indentifikasi. Verifikasi masyarakat hukum adat untuk penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.






