INAnews.co.id, Serang – Menjelang ulang tahun ke-25 pada 4 Oktober 2025, Provinsi Banten menghadapi tantangan serius dalam struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Data Tahun Anggaran (TA) 2024 menunjukkan bahwa 97,74% PAD Banten (Rp8,461 triliun dari total Rp8,656 triliun) bergantung pada empat sektor konvensional: Pajak Kendaraan Bermotor (PKB),
Bea Balik Nama Kendaraan (BBN-KB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan (PBBKB), dan Pajak Rokok. Sementara kontribusi sektor lain, termasuk pariwisata, hanya Rp196 miliar (2,26%).
Ketergantungan ini terbukti rentan saat pandemi COVID-19 (2019–2021), ketika PAD anjlok di bawah 50% dan memaksa Pemprov Banten berutang ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk infrastruktur cicilannya baru lunas pada 2028.
H. Akhmad Jajuli, Pengurus Komite Olahraga Masyarakat Indonesia (KORMI) Banten, menegaskan, “Postur PAD yang timpang ini tidak ideal. Pariwisata harus jadi tulang punggung baru.”
Potensi Besar yang Terabaikan
Banten sebenarnya memiliki segudang aset pariwisata: destinasi religi (Banten Lama), budaya (Suku Baduy), alam (Pantai Anyer, Gunung Karang), hingga fasilitas MICE (Meetings, Incentives, Conferences, Exhibitions).
Dukungan infrastruktur juga memadai: Bandara Soekarno-Hatta, Pelabuhan Merak, jalan tol, dan jaringan transportasi terintegrasi. Namun, potensi ini belum optimal menyumbang PAD.
Jajuli, yang kerap berkunjung ke destinasi wisata domestik dan global, membandingkan Banten dengan Nusa Tenggara Barat (NTB).
“NTB berhasil menjadikan Mandalika, Rinjani, dan Gili Trawangan sebagai ikon global. Mereka punya visi ‘NTB Makmur Mendunia’ yang diimplementasikan secara serius,” ujarnya.
Saat FORNAS VIII Juli 2025 di NTB, 18.000 peserta memicu perputaran uang Rp800 miliar—dengan estimasi pajak daerah Rp80 miliar.
Belajar dari Keberhasilan NTB
Pengalaman Jajuli di NTB menyoroti faktor kunci sukses pariwisata:
1. Pelayanan Ramah dan Adil. Harga jual makanan/tiket transparan tanpa “aji mumpung” untuk wisatawan.
2. Fasilitas Bersih dan Tertib. Tidak ada pengemis di tempat umum; masjid dan musala terjaga kebersihannya.
3. Keseriusan Pemerintah. Sinergi pemda-swasta dalam pengembangan destinasi dan event internasional seperti balap MotoGP di Mandalika.
4. SDM Unggul. Sopir ojek online (ojol) di Lombok, misalnya, menolak bayaran tambahan setelah membantu penumpang yang kesasar.
Revolusi Mental untuk Pariwisata Banten
Agar pariwisata Banten bersaing, Jajuli menekankan perlunya perbaikan perilaku:
Penertiban Tarif. Harga makanan/minuman wajib tercantum di menu; tarif parkir dan tiket harus resmi berkarcis.
Pengawasan Ketat. Desa, kecamatan, dan Dinas Pariwisata harus aktif menindak praktik pemalakan atau ketidakjelasan biaya.
Event Strategis. FORNAS X 2029 di Banten bisa jadi momentum dengan target 30.000 peserta dari 38 provinsi dan mancanegara.
“Parameter sukses pariwisata ada dua: how long to stay dan how much to spend. Jika wisatawan betah lama dan banyak berbelanja, PAD akan meningkat,” tegas Jajuli.
Ia juga mengusulkan kawasan khusus turis mancanegara (seperti Genting Highlands di Malaysia) untuk mengakomodasi kebutuhan privasi.
Menuju Banten 2029
Dengan APBD TA 2024 sebesar Rp11 triliun (PAD hanya menutupi Rp8,656 triliun), diversifikasi pendapatan melalui pariwisata bukan lagi pilihan, tapi keharusan.
“Kita punya modal besar. Tinggal konsistensi dan keseriusan seperti NTB,” pungkas Jajuli.
Jika langkah ini berjalan, Banten tak hanya mengurangi ketergantungan pada sektor konvensional, tapi juga siap menjadi tuan rumah FORNAS X yang mendunia.
Artikel ini disarikan dari pemaparan H.Akhmad Jajuli (Pengurus KORMI Banten 2025–2029).