INAnews.co.id, Berau – Sorotan publik kembali mengarah ke Kabupaten Berau setelah kasus tambang batu bara ilegal di kawasan Kalimantan Timur mencuat dengan kerugian negara triliunan rupiah.
Temuan Bareskrim Polri terkait aktivitas tambang liar di Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto yang merugikan negara Rp5,7 triliun hanya menjadi citra di media, meski hal itu terjadi di Berau dengan pola serupa.
Polres Berau sebelumnya melakukan penutupan tambang ilegal di Jalan Poros Kelay KM 32. Tambang tersebut diduga memiliki jalur distribusi langsung menuju jetty Letter S, salah satu titik strategis pengiriman batu bara.
Namun penindakan ini tak cukup ampuh. Aktivitas serupa masih berjalan di lokasi lain, termasuk di sekitar Pondok Pesantren Hidayatullah, dengan pola pengiriman yang sama ke jalur ke jetty Letter S.
Ketua Padepokan Hukum Kalimantan Timur, Siswansyah, menilai kasus tambang ilegal di Berau akan menjadi ujian serius bagi Kapolres baru.
“Publik ingin tahu, apakah Kapolres baru berani menindak tegas semua aktor, dari pengusaha, broker, hingga oknum aparat yang diduga terlibat. Tanpa keberanian, tambang ilegal ini akan terus menghisap kekayaan daerah dan merusak lingkungan,” ujarnya, Senin 25 Agustus 2025.
Praktisi hukum, Adv. Rabbana, S.H., juga menyoroti lemahnya langkah kepolisian di tingkat daerah.
“Kerugian negara di Berau saja bisa mendekati triliunan rupiah, apalagi jika dihitung kerusakan lingkungan dan sosial. Polda Kaltim terlalu lambat. Bareskrim harus turun tangan untuk membongkar permainan ini,” kata Rabbana ditempat terpisah, Senin 25 Agustus 2025.
Sumber investigasi lapangan menyebut, rantai tambang ilegal di Berau tidak berdiri sendiri.
Ada pengusaha lokal yang menjadi pemodal, broker yang mengatur jalur distribusi, hingga oknum aparat yang diduga memberi perlindungan. Jetty Letter S menjadi kunci, karena dari titik ini batu bara ilegal bisa langsung dikapalkan menuju pasar.
Beberapa nama perusahaan disebut-sebut beroperasi di luar izin resmi dengan modus “menumpang dokumen” perusahaan lain. Sementara di lapangan, truk-truk pengangkut batu bara masih terlihat beroperasi meski ada penyegelan.
Kerusakan lingkungan dalam 10 tahun terakhir, Kabupaten Berau mencatat kerusakan lingkungan yang signifikan akibat tambang liar.
Berdasarkan data LSM lingkungan di Kaltim tahun 2015–2020, sekitar 3.000 hektare hutan di Berau rusak akibat tambang ilegal.
Tahu 2021–2024, angka ini melonjak menjadi 4.500 hektare, seiring peningkatan permintaan batu bara.
Sedangkan tahun 2025 potensi kerugian lingkungan diperkirakan sudah setara Rp1,5 triliun, belum termasuk kerugian ekonomi dan sosial.
Jika dibandingkan dengan kasus Tahura Bukit Soeharto yang mencapai Rp5,7 triliun, pola di Berau menunjukkan tren yang sama, negara kehilangan penerimaan dari batu bara sekaligus menanggung beban kerusakan ekosistem.
Kasus ini bukan hanya soal tambang ilegal, tetapi juga soal keberanian aparat menindak aktor-aktor besar di belakangnya. Di mata masyarakat, Kapolres Berau yang baru akan menjadi sorotan utama.
“Tunggu nyali Kapolres baru Berau. Apakah berani membongkar siapa saja dalang tambang ilegal ini, atau hanya berhenti di penutupan tambang kecil di lapangan,” tegas Siswansyah.
Masyarakat Berau kini menunggu, apakah penegakan hukum benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan lingkungan, atau sekadar formalitas yang tak menyentuh akar masalah.

 
				
 
			 
                 
                 
                 
                




 
 
 
 
