INAnews.co.id, Jakarta– Nepal sedang menghadapi krisis politik dan kerusuhan besar yang mengguncang negara tersebut sejak awal September 2025. Demonstrasi besar-besaran dimulai pada 5 September 2025 sebagai protes terhadap larangan pemerintah Nepal atas beberapa platform media sosial populer seperti Facebook, YouTube, dan X.
Larangan ini memicu kemarahan rakyat, terutama generasi muda atau Gen Z, yang turun ke jalan menuntut perubahan kepemimpinan dan mengakhiri korupsi pejabat tinggi negara.
Protes yang awalnya damai berubah ricuh ketika massa mencoba menyerbu gedung parlemen serta kantor-kantor partai politik dan membakar sejumlah gedung pemerintah, termasuk rumah Perdana Menteri KP Sharma Oli dan Menteri Keuangan. Aksi bentrok yang berlangsung selama beberapa hari ini menyebabkan sedikitnya 22 orang tewas, termasuk istri mantan Perdana Menteri Jhalanath Khanal.
Ratusan lainnya luka-luka dalam bentrokan dengan aparat keamanan yang menggunakan peluru karet, gas air mata, meriam air, bahkan peluru tajam. Amnesty International serta PBB menuntut penyelidikan atas penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi.
Kerusuhan ini juga menyebabkan pengunduran diri beruntun dari pucuk pimpinan negara. Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri pada 9 September 2025, dan diikuti oleh Presiden Ram Chandra Paudel beberapa jam kemudian, meninggalkan kekosongan kekuasaan di Nepal. Krisis ini bahkan berujung pada pelarian sekitar 1.500 napi dari penjara Nakkhu di Lalitpur, serta insiden penembakan di markas besar kepolisian setempat.
Dalam kondisi kekosongan pimpinan negara, militer Nepal mengambil alih kendali keamanan nasional. Jenderal Ashok Raj Sigdel dari Angkatan Darat Nepal menyerukan agar semua pihak mengutamakan dialog damai untuk menyelesaikan krisis.
Pasukan militer dikerahkan di berbagai wilayah utama termasuk Kathmandu, Lalitpur, dan Bhaktapur untuk meredam kekerasan, mencegah penjarahan, dan mengembalikan ketertiban. Militer juga menangkap puluhan orang yang terlibat penjarahan dan vandalisme di tengah protes ini.
Penyebab Protes dan Kritik Publik
Demonstrasi ini dipicu tidak hanya oleh larangan media sosial, tapi juga kemarahan publik terhadap praktik korupsi dan nepotisme. Di media sosial Nepal, istilah “nepo kids” menjadi viral, merujuk pada anak-anak pejabat tinggi yang hidup mewah di tengah kemiskinan rakyat umum, yang memperdalam kesenjangan sosial dan memicu kebencian publik.
Ketidakpuasan atas gaya hidup mewah elite penguasa dan sulitnya mendapatkan pekerjaan membuat Gen Z sebagai motor utama protes menuntut perubahan sistemik dalam pemerintahan Nepal.
Kondisi Terkini
Setelah dua hari demo berdarah yang memakan korban jiwa dan kerusakan fasilitas publik, kondisi Kathmandu kini mulai lengang, meskipun militer masih memberlakukan pembatasan jam malam tanpa batas waktu. Pasukan keamanan fokus pada normalisasi situasi dan perlindungan harta serta nyawa warga.
Namun, ketegangan masih terasa di lapangan, dengan masyarakat menunggu langkah selanjutnya dari pihak berwenang dan harapan terjadinya dialog politik untuk keluar dari krisis. Demikian dikutip berbagai sumber.*