INAnews.co.id, Jakarta – Pada Hari Tani Nasional pada tanggal 24 September 2025, Kepala Departemen Penguatan Organisasi Rakyat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Syamsudin Wahid ajak masyarakat konsisten perjuangkan reformasi agraria.
“Saya mengajak seluruh elemen masyarakat peduli agraria untuk mengingatkan Pemerintah Indonesia akan jasa-jasa para petani sebagai tulang punggung pangan bangsa Indonesia. Penyampaian aspirasi di Jakarta hari ini merupakan perayaan sekaligus penghormatan kepada para petani di Indonesia,” katanya pada Rabu 24 September 2025.
Lanjut Syamsudin, sejarah reformasi agraria di Indonesia bermula dari keprihatinan mendalam terhadap ketimpangan penguasaan tanah yang diwariskan dari masa kolonial.
“Sejak awal kemerdekaan, tokoh-tokoh bangsa seperti Bung Hatta telah mengusulkan pembatasan hak kepemilikan tanah dan redistribusi untuk mewujudkan keadilan sosial,” sambung Syamsudin.
“Puncaknya adalah pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang bertujuan menata kembali kepemilikan dan penguasaan tanah agar rakyat, terutama petani kecil, memperoleh hak yang adil atas tanah,” lanjutnya.
Namun, meskipun memiliki dasar hukum yang kuat, pelaksanaan reforma agraria selama ini menemui banyak kendala.
“Struktur penguasaan tanah masih timpang, lebih dari 80 persen petani di Indonesia adalah petani gurem yang menguasai lahan sangat sempit di bawah 1 hektar. Konflik agraria dan sengketa tanah justru meningkat dari tahun ke tahun akibat ketidakadilan distribusi dan ketidakjelasan kepemilikan tanah. Hambatan seperti birokrasi yang rumit, korupsi, tekanan politik dari kelompok elite, serta ketidakseriusan dalam implementasi kebijakan telah membuat reformasi agraria berjalan lambat dan tidak menyentuh akar masalah,” jelas Syamsudin.
Kendala-kendala tersebutlah yang menjadi penyebab profesi tani semakin ditinggalkan dan terpinggirkan ditengah arus pembangunan dan modernisasi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah petani di Indonesia terus menurun dari 31,70 juta orang pada 2013 menjadi 29,34 juta orang pada 2024.
Penurunan hampir 2,4 juta orang ini menggambarkan krisis regenerasi, apalagi rata-rata usia petani kini mencapai 50 tahun ke atas.
Syamsudin menyampaikan pada Hari Tani Nasional tahun ini kami memperjuangkan, pertama, percepatan redistribusi tanah sesuai amanat UUPA 1960 kepada petani yang belum memperoleh hak atas tanah, terutama petani gurem dan buruh tani.
“Kedua, pemberantasan mafia tanah dan penguatan sistem administrasi agraria yang transparan dan akuntabel agar kepastian hukum bagi petani betul-betul terwujud. Ketiga, selesaikan konflik agraria tanpa melibatkan militerisasi dalam penanganannya dengan pemberian pengakuan dan pemberdayaan hak-hak masyarakat adat dan hukum adat dalam pengelolaan dan penguasaan tanah. Keempat, pemutusan hubungan politik yang melindungi pemilik modal besar dan korporasi dari penguasaan tanah yang tidak adil, serta memastikan kebijakan agraria berpihak pada rakyat kecil. Kelima, peningkatan dukungan pemerintah dalam bentuk akses permodalan, pendampingan teknis, dan infrastruktur bagi petani penerima tanah redistribusi agar tanah yang diperoleh mampu dikelola dengan produktif,” tuntutnya.
Selanjutnya Syamsudin menyerukan kepada pemerintah dan semua pihak untuk mewujudkan reforma agraria sejati sebagai kunci keadilan sosial dan kemakmuran petani Indonesia, bukan hanya sebatas janji atau program simbolis. Kebutuhan akan tanah yang adil dan hak bagi petani merupakan fondasi bagi kedaulatan pangan dan pembangunan berkelanjutan Indonesia.
“Saya menghimbau pejuang agraria jangan terhasut provokasi, dan bersama‐sama mendukung langkah Pemerintah dalam mewujudkan Reforma Agraria Sejati. Hari Tani Nasional 2025 adalah momentum bagi Bangsa Indonesia untuk kembali mengingat dan menghidupkan semangat reforma agraria. Maju terus perjuangan reforma agraria, demi keadilan, kemakmuran, dan kedaulatan rakyat,” tutup Syamsudin.