Menu

Mode Gelap
DPD Award Bentuk Pengakuan Nasional terhadap Kontribusi Tokoh Daerah Strategi Networking saat Pulang ke Indonesia bagi Pelajar Indonesia Pesan Anies untuk Diaspora Indonesia Teknokrasi Harus Memimpin, Bukan Didominasi Politik Kunci Sukses “Pulang Kampung” dari Negeri Orang Jangan Jadi “Melayu Kecil” di Negeri Orang

GAYA HIDUP

32 Persen Pemuda Indonesia Dipaksa Kerja Sejak Usia 15 Tahun

badge-check


					Foto: Diah Ayu/tangkapan layar Perbesar

Foto: Diah Ayu/tangkapan layar

INAnews.co.id, Jakarta– Diah Ayu, peneliti ekonomi digital dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengungkapkan fakta mengejutkan tentang kondisi pemuda Indonesia yang jauh dari harapan bonus demografi.

Dalam diskusi bertema “Anak Muda Multi Problema” di program Indonesia Leaders Talk (ILT), Jumat (24/10/2025), Diah memaparkan data dari Sakernas BPS yang menunjukkan 32 persen pemuda Indonesia memulai pekerjaan pertama di usia 15 tahun, yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah atau persiapan kuliah.

“Mereka harus dipaksa bekerja, harus dipaksa memenuhi tanggung jawabnya untuk memberikan uang kepada keluarganya. Mereka mengesampingkan kegiatan belajarnya menjadi nomor dua dan lebih mementingkan pekerjaan informal seperti menggojek dan juga berjualan untuk memenuhi kehidupan keluarganya,” ungkap Diah.

Ia menyebut kondisi ini sangat miris jika pemerintah terus menggaungkan Indonesia Emas 2045 dengan sumber daya manusia berkualitas. “Tetapi apakah dengan kualitas yang diharapkan nantinya itu bisa didapatkan sejak dini? Ini harus menjadi refleksi bagi pemerintah bagaimana mengelola sumber daya manusia tersebut,” kritiknya.

Diah juga mengungkap ironi yang dialami pemuda Indonesia. Di satu sisi mereka dipaksa bekerja sejak usia muda, di sisi lain tingkat pengangguran terbuka pemuda usia 19-25 tahun justru paling tinggi.

“Tingkat penganggurannya 17,32 persen, sedangkan rata-rata tingkat pengangguran terbuka nasional ini hanya 4,91 persen. Ironis, bukan? Jadi saya dipaksa bekerja dari usia belasan tahun, tapi saya juga masuk ke tingkat pengangguran terbuka,” jelasnya.

Diah, yang berusia 25 tahun dan mewakili Generasi Z, menyebut generasinya sebagai the anxious generation—generasi yang paling merasa terombang-ambing hidup di dunia.

Ia mengutip data OJK yang menunjukkan lonjakan drastis pengguna paylater di kalangan muda. “Pada bulan Juni 2024 jumlahnya masih sekitar 9,9 juta. Tetapi saat Juni 2025, jumlah penerima aktif dan pengguna paylater di usia muda 19 sampai 34 tahun itu melonjak jadi 15 juta,” ungkapnya.

Rata-rata pembiayaan paylater mencapai Rp1,5 sampai Rp3 juta per bulan. Jika dibandingkan dengan UMR DKI Jakarta sebesar Rp5,5 juta, ini memakan 30-40 persen gaji mereka.

Diah menyoroti fenomena konsumsi berlebihan didorong media sosial. Ia menyebut munculnya istilah “Negeri Blok M” di kalangan Gen Z karena di kawasan tersebut banyak kafe menjual matcha ceremonial grande seharga Rp75.000-100.000 untuk 200 ml.

“Overprice tentu jika dibandingkan dengan UMR. Tetapi karena kebutuhan tuntutan konten, karena kebutuhan untuk validasi dari media sosial dan internet, maka mereka berlomba-lomba untuk datang—takut ketinggalan tren, takut ketinggalan konten,” jelasnya.

Padahal, menurut laporan Millennial and Gen Z Report, 66 persen milenial dan Gen Z mengakui kesulitan terbesar pengelolaan uang adalah biaya hidup yang semakin meningkat.

Diah mengkritik ketidakseimbangan antara inflasi dan pertumbuhan gaji. “Tingkat inflasi ini lebih dari 2,5 persen setiap tahunnya tetapi pertumbuhan gaji setiap tahun Indonesia hanya 2 persen. Bagaimana kita bisa hidup membiayai hidup kita sehari-hari?” tanyanya retoris.

Ia memberikan contoh konkret: harga beras per kilogram yang tahun lalu di bulan Agustus masih Rp13.500, kini sudah Rp16.000. “Kenaikan yang sangat tajam dan signifikan, tetapi gaji UMR tidak begitu naik,” tegasnya.

Kondisi diperparah bagi mereka yang menjadi generasi sandwich—harus membiayai keluarga, adik-adik, orang tua, dengan kebutuhan pokok yang terus meningkat dan harga tidak stabil.

Diah juga menyoroti gelombang PHK di perusahaan ekonomi digital dan bank digital dalam beberapa bulan terakhir.

“Banyak sekali yang kena layoff karena: satu, mereka tidak ada revenue, tidak ada benefit, dan juga investor-investor pada hengkang dari Indonesia karena masih minim ease of doing business. Mereka pergi ke Vietnam, mereka pergi ke Filipina yang jauh lebih memudahkan keran-keran investasinya masuk, birokrasinya tidak berlama,” urainya.

Diah mempertanyakan efektivitas pendidikan SMK yang seharusnya mencetak lulusan siap kerja. “Pengangguran SMK itu paling banyak di Indonesia. Padahal SMK kalau kurikulumnya bisa disesuaikan dan lebih fleksibel, itu akan lebih menarik bagi industri-industri. Tapi sayangnya sejauh ini kenapa lagi-lagi SMK yang harusnya siap kerja malah menjadi pengangguran?” kritiknya.

Ia juga menyinggung masalah kurikulum yang tidak konsisten. “Ganti rezim, ganti birokrasi, ganti pula kurikulumnya,” keluhnya.

Diah membandingkan dengan pengalamannya sebagai relawan di SD Australia: “Mereka itu belajarnya seperti kelas 2 SMP di Indonesia, padahal mereka masih kelas 4 SD. Ini peer-nya lama, Mas.”

Mengomentari paket ekonomi pemerintah yang memberikan uang magang Rp3,3 juta, Diah melihatnya sebagai sinyal baik namun penuh kelemahan.

“Sampai saat ini saya juga masih mempertanyakan: setelah mereka selesai magang yang hanya 3 sampai 6 bulan, mereka akan ke mana? Pemerintah tidak bisa memberikan kepastian. Belum ada MOU ataupun belum ada press conference yang menyatakan setelah mereka magang mereka bisa lanjut,” ungkapnya.

Ia khawatir program ini justru menjadi loophole. “Mahasiswa magang akan dijadikan tenaga magang terus. Karena tenaga magang adalah tenaga yang murah—Rp3,3 juta di bawah UMR DKI Jakarta.”

Diah juga mengkritik keras transparansi data pemerintah. Ia menyebut adanya manipulasi data pertumbuhan ekonomi di triwulan-triwulan sebelumnya.

“Pemerintah bilang, ‘Oke pertumbuhan ekonomi 5,12 persen,’ padahal semua lembaga riset menyatakan ini hanya 5 persen, di bawah 5 persen. Pemerintah ini harus lebih transparan dan akuntabel,” tegasnya.

Menurutnya, manipulasi data ini berbahaya karena bisa membuat pemerintah salah mengambil kebijakan, terutama terkait bantuan sosial untuk masyarakat miskin.

Diah menutup dengan pernyataan tegas: “Jangan maunya pemerintah harap kita pajak terus, tapi kita sekalinya demand malah bilang masyarakat tidak berhak nilai menteri, masyarakat tidak berhak menilai presiden. Yang berhak nilai menteri adalah presiden.

Ia menekankan, “Kita milih presiden itu adalah konstituen. Otomatis kita menerima mereka sepaket dengan birokrasinya yang perlu kita jaga transparansi dan akuntabilitasnya.”

Dalam closing statement-nya, Diah menegaskan: “Mengkritik bukan berarti membenci, tapi adalah bentuk rasa sayang kepada pemerintahan dan juga ingin ikut serta dalam memajukan Indonesia Emas 2045.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

DPD Award Bentuk Pengakuan Nasional terhadap Kontribusi Tokoh Daerah

29 Oktober 2025 - 17:44 WIB

Strategi Networking saat Pulang ke Indonesia bagi Pelajar Indonesia

29 Oktober 2025 - 16:23 WIB

Pesan Anies untuk Diaspora Indonesia

29 Oktober 2025 - 15:21 WIB

Populer NASIONAL