INAnews.co.id, Jakarta– “Akan ada harapankah mereka di 2029 bila kompetisi politik dari hari ini sudah diinsinuasikan untuk dimenangkan oleh pemilik ‘gajah merah’?” Pertanyaan retoris ini dilontarkan filsuf Rocky Gerung dalam diskusi bertajuk “Anak Muda Multi Problema” di program Indonesia Leaders Talk (ILT), Jumat (24/10/2025).
Pertanyaan ini menyingkap akar masalah yang jauh lebih dalam dari sekadar isu ekonomi atau psikologi: fatalisme politik.
Diah Ayu (25), peneliti ekonomi dari CELIOS yang mewakili Generasi Z, menyebut generasinya sebagai the anxious generation—generasi yang paling merasa cemas dan terombang-ambing.
Pratiwi Kristin (38), PhD student neuroscience dari Tokyo yang mewakili milenial, menjelaskan dari sudut pandang ilmu otak bagaimana ketidakpastian mempengaruhi kesehatan mental dan kemampuan kognitif anak muda.
Namun Rocky Gerung justru mengungkap dimensi yang berbeda: kegelisahan anak muda bukan soal ekonomi atau psikologi semata, melainkan fatalisme politik yang diciptakan oleh sistem dinasti.
“Coba bayangkan, konsep-konsep ini yang membuat anak-anak muda ini jadi fatalis saja. Ngapain mereka belajar? Kalau ke mana pun kemampuan intelektual dia diinvestasikan akan berhadapan dengan Gibran di 2029. Jadi secara awal dia sudah fatalistik aja,” ujar Rocky dengan nada kritis.
Menurutnya, anak muda Indonesia melihat bahwa meritokrasi—sistem yang menghargai kemampuan dan prestasi—tidak akan berjalan. Kompetisi politik sudah “diatur” untuk dimenangkan oleh Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden.
“Karena itu ada kemarahan sosial, karena itu ada kegelisahan psikologi itu. Nah, itu yang menerangkan meng apa anak-anak muda ini mesti diberi kepastian politik, bukan uncertainties, tetapi kepastian politik bahwa demokrasi akan fair play di 2029. Itu dasarnya,” tegas Rocky.
Rocky menggunakan istilah neuroscience untuk menjelaskan fenomena ini: “Satu-satunya yang membuat mereka gelisah adalah masih adanya anak kecil jadi wakil presiden diselundupkan oleh bapaknya untuk memuluskan dinastinya. Ini disimpan di dalam hippocampus.”
Pratiwi, yang memang ahli neuroscience, mengonfirmasi bahwa hippocampus adalah bagian otak yang menyimpan memori jangka panjang. “Betul, Pak,” ujarnya.
Artinya, pengalaman melihat dinasti politik Jokowi-Gibran ini bukan sekadar informasi yang lewat begitu saja, melainkan tersimpan sebagai memori traumatik yang terus mempengaruhi cara anak muda memandang masa depan politik mereka.
Rocky menciptakan dikotomi tajam untuk menggambarkan kondisi ini: anak muda memilih menjadi dealer(pedagang/pialang) ketimbang leader (pemimpin).
“Kalau orang yang gelisah, ya sudah dia cari penyelesaian dengan cara fear of missing out, maka dia tidak mungkin memimpin lagi itu. Jadi dia memilih menjadi dealer ketimbang menjadi leader,” jelasnya.
Apa yang dimaksud dengan dealer? Mereka yang sekadar mencari keuntungan pragmatis, mengikuti arus, tanpa visi jangka panjang untuk memimpin perubahan. Ini adalah produk dari fatalisme—ketika anak muda tidak lagi percaya bahwa usaha mereka akan berbuah hasil dalam sistem yang korup.
Rocky memberikan ilustrasi konkret tentang dilema yang dihadapi anak muda cerdas Indonesia. Ia menceritakan pertemuannya dengan dua lulusan PhD dari ITB yang belajar di Polandia—satu tentang nuklir, satu tentang pengendalian air—yang bertanya: “Pak, sekarang problem kami: harus pulang apa tidak ke Indonesia?”
“Kalau kami tidak pulang, itu artinya kami berhutang moral pada bangsa ini karena kami dibiayai oleh LPDP. Kami sudah lulus dibiayai oleh beasiswa LPDP, maka kami mesti pulang. Tetapi kalau kami pulang, kami akan berhadapan dengan bos yang sama yang tugasnya setiap hari menyuruh kami mark up anggaran,” kenang Rocky.
Inilah dilema etis yang sesungguhnya: pulang berarti kembali ke sistem korup, tidak pulang berarti mengkhianati tanggung jawab moral kepada bangsa.
“Jadi bayangkan dilema etisnya ada di situ. Dia kalau pulang, dia akan kembali mengabdi pada bosnya yang koruptor. Kalau dia tidak pulang, dia merasa bertanggung jawab dan malu terhadap negara. Kalau dilema ini tidak diputuskan, maka anak-anak itu akan kehilangan orientasi,” jelas Rocky.
Konsekuensi dari fatalisme politik ini adalah brain drain—pelarian talenta terbaik Indonesia ke luar negeri.
“Selama faktor-faktor yang menghalangi mereka—terutama soal rezim Jokowi yang masih cangkang-cangkang—maka jangan harap anak-anak ini akan muncul dengan ide-ide yang cemerlang. Mereka punya ide cemerlang, tapi akan mereka cemerlangkan itu di Tokyo, mereka akan cemerlangkan itu di Hong Kong, cemerlangkan itu di Turki dalam bentuk brain drain,” tegas Rocky.
Ini adalah intellectual capital outflow—arus keluar modal intelektual—yang menjadi kerugian besar bagi Indonesia.
Rocky menggunakan konsep sosiologi untuk menjelaskan kondisi psikologis anak muda: anomi.
“Dia jadi anonim. Dia merasa bahwa tidak ada gunanya dia sebagai manusia. Dia jadi anomi, tidak ada gunanya punya aturan itu. Itu intinya. Jadi sekali lagi, korupsi di dalam pikiran itu pada anak-anak itu disebabkan karena korupsi di dalam kebijakan,” jelasnya.
Menurut Rocky, selama meritokrasi ditentukan oleh amplop dan lembaga survei, bukan prestasi akademis, maka anak muda akan terus merasa sia-sia.
Rocky membedakan dua jenis politik: politics of hope (politik harapan) dan politics of memory (politik memori).
“Selama yang normatif itu tidak bisa diperlihatkan sebagai janji masa depan—the politics of hope—maka anak-anak muda ini akan hidup dalam the politics of memory,” jelasnya.
Apa politics of memory mereka? “Ya, tipu-menipu lembaga survei di dalam menghipnotis kebijakan publik. Anda lihat misalnya bagaimana lembaga survei bilang bahwa pemerintahan Presiden Prabowo dan Gibran itu poinnya 80 dari skala 100—kecuali CELIOS yang memberi nilai tiga.”
Rocky menyoroti kontradiksi mencolok antara hasil survei CELIOS dengan lembaga survei lainnya.
“Jadi terlihat bahwa ada dua lembaga survei hasilnya jauh banget. Akibatnya anak muda ini menganggap yang mana yang benar? CELIOS yang benar atau lembaga survei Poltracking yang benar? Kalau dua lembaga survei hasilnya itu betul-betul kontradiktif, maka satu dari mereka adalah pembohong. Yang berbohong siapa?” tanyanya retoris.
Dengan tegas ia menjawab: “Tidak mungkin berbohong CELIOS, tidak mungkin berbohong. Karena keterangan oleh Diah Ayu tadi itu betul-betul rasional—menghitung secara detail apa yang akan membatalkan harapan anak-anak ini untuk jadi pemimpin ke depan.”
Rocky memberikan resep yang tegas: hilangkan penghalang politik.
“Hilangkan dulu penghalang-penghalang yang menyebabkan mereka menjadi pesimis, menjadi uncertainties di dalam memandang masa depan. Apa penghalangnya? Ya, Gibran. Apa penghalang? Ya, Jokowi. Cuman itu yang ada di dalam deep psychology mereka,” tegasnya.
“Jadi mereka bukan tidak mampu bersaing, tapi mereka menganggap ngapain dari sekarang mempersiapkan diri kalau pada akhirnya meritokrasi itu ditentukan oleh amplop, ditentukan oleh lembaga survei, bukan oleh prestasi akademis mereka,” lanjutnya.
Rocky membedakan dua jenis ketidakpastian dengan tajam.
“Uncertain di dalam alam, oke, otak kita berevolusi di situ. Tetapi uncertainty di dalam kebijakan publik, itu artinya dia membahayakan hidup saya. Di dalam politik tidak boleh ada uncertainty. Kenapa? Karena kita tukar-tambah hak dan kewajiban bersama dengan negara. Itu bedanya negara,” jelasnya.
Ketidakpastian di alam bisa diatasi oleh tubuh manusia melalui produksi dopamin dan oksitosin. Tapi ketidakpastian politik? Itu adalah pengkhianatan kontrak sosial antara negara dan warga negara.
Rocky menciptakan metafora yang kuat untuk menggambarkan kondisi generasi muda saat ini.
“Ini generasi bukan sekadar dia generasi sandwich, tapi dia generasi yang sudah—apa namanya—ikan pepes itu yang sudah dibolak-balik masukin microwave, belum juga matang masukin fryer segala macam,” ujarnya dengan nada sarkastik.
Metafora ini menggambarkan anak muda yang dipaksa bekerja sejak usia 15 tahun (data Diah Ayu: 32% pemuda Indonesia), tapi tetap jadi pengangguran (17,32% tingkat pengangguran terbuka pemuda), terjerat utang paylater (lonjakan dari 9,9 juta ke 15 juta pengguna), digempur informasi media sosial hingga mengalami brain rot (analisis Pratiwi), dan kehilangan harapan politik akibat dinasti (analisis Rocky).
Diah Ayu memberikan dukungan data empiris untuk argumen Rocky. Ia memaparkan:
1. 32% pemuda Indonesia mulai bekerja di usia 15 tahun (seharusnya masih sekolah)
2. Tingkat pengangguran terbuka pemuda 17,32% (nasional hanya 4,91%)
3. Lonjakan pengguna paylater dari 9,9 juta ke 15 juta dalam setahun
4. Rata-rata utang paylater Rp1,5-3 juta/bulan (30-40% UMR)
5. Inflasi 2,5%/tahun, pertumbuhan gaji hanya 2%
6. Harga beras naik dari Rp13.500 ke Rp16.000 dalam setahun
7. Gelombang layoff di perusahaan digital karena investor hengkang
8. Pengangguran SMK tertinggi padahal harusnya siap kerja
9. Kurikulum berganti setiap ganti rezim
“Ini harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Tetapi lagi-lagi kami menyalahkan diri kami yang tidak kompeten dan juga kalah saing. Ini juga menjadi pertanyaan: kenapa Gen Z dan milenial harus selalu menyalahkan diri kita sendiri, padahal ada campur tangan kebijakan pemerintah yang membuat hal itu terjadi?” kritik Diah.
Pratiwi menjelaskan dari sudut pandang neuroscience mengapa anak muda mudah terpengaruh media sosial dan mengalami penurunan kognisi:
1. Otak sempurna di usia 25-30 tahun, sebelum itu masih berkembang
2. Prefrontal cortex (berpikir kritis) remaja masih berkembang
3. Social comparison process membuat perbandingan terasa seperti ancaman
4. Dopamin dari like bersifat sementara dan adiktif
5. Brain rot: penurunan kognisi akibat konten instan
6. Attention span menurun drastis
7. Neuroplastisitas: kebiasaan membentuk otak
8. IQ 78 bukan takdir, bisa ditingkatkan dengan latihan
“Otak itu bukan dibuat untuk berlomba, tapi untuk belajar. Dan ketika kita belajar memilih apa yang kita lihat, kita juga belajar menjaga diri kita. Karena otak akan beradaptasi untuk itu,” pesan Pratiwi.
Baik Diah maupun Pratiwi sepakat: komunikasi publik pemerintah tidak memberikan kepastian psikologis.
“Karena komunikasi publik dari pemerintah ini tidak bisa memberikan kepastian secara psikologis. Itu saya sepakat untuk itu. Ini juga menjadi catatan. Kalaupun memang ada kebijakan-kebijakan yang sekiranya oke, tapi dimaknai keliru juga, akhirnya jadi memunculkan pendapat yang berbeda, persepsi yang berbeda juga,” ujar Pratiwi.
Diah menambahkan: “Pemerintah ini harus lebih transparan dan akuntabel. Kenapa pemerintah itu takut banget untuk membuka data secara asli? Kenapa selalu maunya yang bagus-bagus aja yang ter-expose kayak gitu?”
Rocky menawarkan solusi jangka panjang: membangun argumentative society (masyarakat yang argumentatif).
“Kultur membekali kita dengan fasilitas bahwa di dalam satu komunitas yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, maka yang diajukan pertama kali adalah argumen, bukan sentimen. Dengan cara itu, otak kita melatih untuk mengantisipasi argumen dari pihak yang berbeda dengan kita,” jelasnya.
Ini membutuhkan reformasi pendidikan radikal: “Murid harus dibiasakan untuk membantah guru. Murid harus diajarkan untuk menggeleng ketika guru mengajar, bukan mengangguk-angguk. Dengan itu otaknya itu bekerja. Kalau kita menggeleng, itu artinya otak kita mencari cara untuk membantah si guru, dan itu bagus.
Walaupun secara budaya itu buruk, tetapi justru dengan cara itu otak kita mengalami dialektisasi.”
Hapus Feodalisme dan Patriarkisme
Rocky menekankan pentingnya menghapus feodalisme dan patriarkisme dalam sistem sosial dan pendidikan Indonesia.
“Inti dari keterbukaan itu adalah menciptakan semacam prasyarat bahwa di dalam kehidupan politik kita, kehidupan intelektual kita harus ada argumentative society. Itu artinya feodalisme mesti dikikis, patriarkisme mesti dihilangkan,” tegasnya.
Rocky juga memperingatkan bahaya neurotic society—masyarakat yang neurotik yang menghasilkan para demagog.
“Neuroscience itu dipakai untuk menjegah jangan sampai masyarakat kita menjadi neurotic society. Dan kebanyakan neurotic society itu menghasilkan para demagog yang sekadar berbusa-busa tapi tanpa runtutan pikiran yang logis,” kritiknya.
Rocky memberikan peringatan keras: ketidakpastian hidup yang berkepanjangan bisa berubah menjadi revolusi.
“Kegelisahan ini yang menyebabkan ketidakpastian hidup. Nah, suatu waktu ketidakpastian hidup ini, deprivasi sosial ini akan berubah menjadi revolusi. Itu pasti terjadi,” tegasnya.
Ia membandingkan dengan kasus di Turki: “Kalau kita masuk di situ, itu artinya ada lapisan yang potensial menjadi—yang terkait istilah yang ada di Turki itu—perwira-perwira muda militer itu melakukan kudeta.”
Rocky juga menyinggung keterbatasan struktural pemerintahan: “Semua ambisi politik batasnya adalah anggaran. APBN akan membatasi ambisi presiden siapa pun.”
Ini menjelaskan mengapa janji-janji pemerintah sering tidak terealisasi—bukan hanya soal niat baik atau buruk, tapi juga keterbatasan fiskal.
Pesan untuk Anak Muda: Jangan Jadi Dealer
Dalam penutupnya, Rocky memberikan seruan tegas kepada anak muda Indonesia.
“Kita mau pastikan malam ini bahwa itu mesti kita hentikan. Dan itu yang akan memungkinkan kita menghasilkan leader di masa depan dan menghalangi dealer masuk di dalam persainan politik,” pungkasnya.
Diskusi ini mengungkap bahwa problema anak muda Indonesia bukan sekadar soal ekonomi (utang, pengangguran, inflasi) atau psikologi (kesehatan mental, brain rot, FOMO), melainkan fatalisme politik yang diciptakan oleh sistem dinasti dan korupsi struktural.
Selama anak muda melihat bahwa masa depan politik sudah “diatur” untuk dinasti tertentu, selama meritokrasi tidak berjalan, selama komunikasi publik pemerintah tidak memberikan kepastian, maka:
1. Anak muda akan kehilangan motivasi untuk berprestasi
2. Talenta terbaik akan lari ke luar negeri (brain drain)
3. Yang tersisa akan memilih jadi dealer, bukan leader
4. Deprivasi sosial ini bisa berubah menjadi revolusi
Solusinya bukan hanya MBG (Makan Bergizi Gratis) atau program magang Rp3,3 juta, melainkan:
1. Kepastian politik: demokrasi fair play, hapus dinasti
2. Transparansi data: pemerintah harus jujur
3. Argumentative society: hapus feodalisme, latih berpikir kritis
4. Reformasi pendidikan: berbasis neuroscience, latih kognisi
5. Kebijakan inklusif: mudahkan akses kerja, investasi, pendidikan
Pertanyaan Rocky di awal diskusi masih bergema: “Akan ada harapankah mereka di 2029?”
Jawabannya tergantung pada apakah Indonesia bisa keluar dari jeratan dinasti politik dan membangun sistem meritokrasi sejati—atau terus memproduksi generasi yang fatalis, cemas, dan akhirnya memilih kabur ke luar negeri.






