INAnews.co.id, Buton Tengah – Aliansi Pemuda Mahasiswa dan Masyarakat Kepulauan Buton (APMM Kepton) bersama sejumlah aktivis tata kelola pemerintahan menyuarakan keprihatinan mendalam atas dugaan penghilangan jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Buton Tengah tanpa prosedur hukum yang sah.
Kasus ini mencuat setelah H. Kostantinus Bukide, S.H., M.Si., yang menjabat sebagai Sekda definitif sejak 2019, dinyatakan tidak lagi menjabat tanpa adanya Surat Keputusan (SK) pemberhentian dari Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
Berdasarkan hasil investigasi dan kajian APMM Kepton, termasuk penelusuran terhadap SK pengangkatan, rekomendasi Badan Kepegawaian Negara (BKN), serta surat dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jabatan Sekda tersebut seharusnya masih sah dan layak diperpanjang.
Rekomendasi BKN tertanggal 28 November 2024 menyebutkan masa jabatan dapat diperpanjang, sementara surat Kemendagri tertanggal 21 Januari 2025 menegaskan bahwa Sekda tetap menjalankan tugas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, setelah pelantikan Bupati definitif pada Maret 2025, posisi Sekda dinyatakan kosong tanpa adanya proses pemberhentian formal. Sebagai gantinya, Bupati Buton Tengah menunjuk Pelaksana Harian (Plh) Sekda melalui SK Nomor 279 Tahun 2025 dan melimpahkan kewenangan Pengguna Anggaran (PA) kepada Asisten Administrasi Umum berdasarkan SK Nomor 253 Tahun 2025.
Langkah tersebut dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan bertentangan dengan regulasi yang berlaku.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2018, penunjukan Plh Sekda hanya dimungkinkan jika Sekda berhalangan sementara kurang dari 15 hari kerja atau dalam proses pemberhentian yang belum selesai. Sementara itu, PP Nomor 12 Tahun 2019 dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 menegaskan bahwa PA untuk Sekretariat Daerah wajib dijabat oleh Kepala SKPD, yakni Sekda.
“Ini bukan sekadar konflik jabatan. Ini adalah bentuk nyata maladministrasi yang merusak integritas birokrasi daerah. Ketika jabatan strategis seperti Sekda bisa dihilangkan tanpa SK pemberhentian, maka kita sedang menyaksikan erosi terhadap prinsip kepastian hukum dan perlindungan hak ASN,” ujar Dhira Adiyatma Jaya, aktivis APMM Kepton.
Selain itu, APMM Kepton juga menyoroti tuduhan pelanggaran netralitas ASN yang sempat diarahkan kepada Kostantinus dalam konteks Pilkada 2024. Tuduhan tersebut disampaikan oleh Bupati Buton Tengah kepada BKN, namun tidak pernah diklarifikasi secara resmi kepada yang bersangkutan.
Bahkan, pemeriksaan yang dilakukan oleh Inspektorat Provinsi Sulawesi Tenggara tidak menghasilkan laporan final karena sejumlah pihak yang diperiksa menolak memberikan keterangan.
“Kami mendesak Ombudsman RI menyatakan telah terjadi maladministrasi dan merekomendasikan tindakan korektif, termasuk pemulihan hak jabatan ASN yang dirugikan. Kami juga meminta BKN dan Kemendagri tidak membiarkan praktik seperti ini menjadi preseden buruk di daerah lain,” tegas Dhira.
APMM Kepton menilai kasus ini menjadi peringatan serius bagi tata kelola pemerintahan daerah. Jabatan ASN, kata mereka, bukanlah alat politik, melainkan fondasi profesionalisme birokrasi.
“Ketika prosedur hukum diabaikan, yang dirugikan bukan hanya individu, tapi juga kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan,” tutup pernyataan tersebut.