INAnews.co.id, Jakarta– Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti memperingatkan bahwa penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan jalan mulus untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 naskah awal yang otoriter.
“Bagi kami yang belajar hukum tata negara, ini semacam alarm sebenarnya. Kami menyebutnya semacam pathway untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar yang lama,” kata Bivitri dalam konferensi pers di Kantor YLBHI, Selasa (4/11/2025).
Dosen hukum ini menjelaskan bahwa basis dari amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002 justru adalah perilaku Soeharto yang otoriter.
“Pembatasan masa jabatan dari tak terhingga menjadi dua kali, itu kan belajarnya dari Soeharto. Bagaimana kebijakan undang-undang yang dulu tidak bisa di-challenge, maka dibuatlah Mahkamah Konstitusi.”
Ia memperingatkan konsekuensi berbahaya jika Soeharto dinobatkan sebagai pahlawan: “Bayangkan kalau legitimasi perubahan UUD 45 itu menjadi hilang karena Soeharto justru dianggap pahlawan, maka ini adalah jalan yang sangat mulus tanpa kerikil apapun untuk balik kepada UUD 1945 naskah awal.”
“Bayangkan kalau balik ke UUD 45 yang naskah awal, maka kita tidak punya lagi Mahkamah Konstitusi, kita tidak punya lagi pasal-pasal HAM dalam pasal 28, tidak ada pembatasan masa jabatan presiden. Soeharto tujuh kali jadi presiden di bawah UUD itu,” jelasnya.
Bivitri juga membantah klaim bahwa secara hukum penganugerahan sudah legal. “Kalau dikatakan dari aspek legalitas sudah legal, salah. Karena TAP MPR sejak 2002 tidak boleh lagi keluar,” tegasnya.






