INAnews.co.id, Jakarta– Pertemuan Wakil Ketua Umum PSI Ronald Sinaga alias Broron dengan Bendahara Umum Partai Nasdem Ahmad Sahroni beberapa waktu lalu terus menuai spekulasi di kalangan netizen. Meski keduanya membantah ada kaitan dengan perpindahan partai, kalimat menggantung Broron soal “kejutan 10 November” justru memantik tanda tanya lebih besar.
Pengamat politik Adi Prayitno dalam kanal YouTube-nya, Ahad (19/10) menyebut, sekalipun ada bantahan keras dari kedua belah pihak, dunia politik Indonesia “serba gelap gulita” dan tak pernah bisa ditafsirkan hitam putih.
“Broron membantah, Ketua Harian PSI Ahmad Ali juga membantah tidak ada kaitan dengan pindah partai. Tapi dalam politik kita itu serba gelap gulita, kita tidak akan pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi,” ujar Prayitno.
Yang membuat spekulasi kian membara adalah pernyataan Broron saat diwawancarai media. Meski membantah soal perpindahan partai, politisi PSI itu justru melontarkan kalimat yang menggantung.
“Ada diskusi-diskusi panjang yang jauh lebih penting dari sekedar partai, yaitu tentang bagaimana membangun bangsa di masa depan. Tunggu tanggal 10 November, nanti akan ada kejutan-kejutan,” kata Broron seperti dikutip Prayitno.
Pernyataan tersebut justru membuat pertemuan yang diunggah Broron di Instagram pribadinya itu terus menjadi perbincangan hangat di media sosial hingga kini.
Adi menilai wajar jika publik terus berspekulasi mengingat fenomena perpindahan politisi antar partai sudah sangat lumrah di Indonesia. Ia menyebut sejumlah nama besar yang pernah berganti baju partai.
Ruhut Sitompul misalnya, dari Demokrat ke PDIP. Maruarar Sirait dari PDIP pindah ke Gerindra. Dedi Mulyadi (Kang Dedi Mulyadi) dari Golkar ke Gerindra. Bahkan Sandiaga Uno yang sempat hijrah dari Gerindra ke PPP.
“Ini menegaskan bahwa identitas kepartaian secara ideologis di kita memang agak sedikit longgar. Wajar kalau kemudian begitu banyak politisi di negara kita berganti baju dan berganti partai,” jelasnya.
Menurut Prayitno, lemahnya identitas kepartaian (party ID) di Indonesia membuat perpindahan partai menjadi hal biasa. Secara akademis, kata dia, orang yang merasa dekat secara ideologis dengan partai tertentu terus menurun setiap tahun.
“Mungkin hari ini maksimal di sekitaran 20 persen yang cukup ngotot berpartai dan berjuang secara ideologis. Selebihnya masyarakat tidak mau teridentifikasi dengan partai politik tertentu,” ungkapnya.
Lebih jauh, Prayitno menilai partai-partai di Indonesia nyaris tidak memiliki diferensiasi ideologi yang signifikan. Baik yang mengklaim sebagai partai nasionalis, Islam, maupun nasionalis-religius, pada praktiknya sama saja.
“Secara prinsip dan praktik politik, partai-partai itu sama saja. Kalau kalah bergabung dengan yang menang. Kalau menang, kebijakannya juga sama: naik BBM, naik pajak, dan kebijakan tidak populis lainnya,” kritiknya.
Pengamat yang juga dosen ini menegaskan, partai politik di Indonesia seringkali hanya dijadikan instrumen atau kendaraan untuk mencapai kekuasaan. Bukan sebagai wadah perjuangan ideologis.
“Sepanjang partai itu bisa dijadikan kendaraan untuk maju Pilpres, Pilkada, atau Pileg, maka akan terus menjadi bagian di dalamnya. Tapi kalau dianggap tidak ada gunanya, ya ditinggalkan,” tegas Prayitno.
Sistem presidensialisme multipartai ekstrem di Indonesia—dengan tujuh partai yang lolos ke parlemen—dinilai Adi semakin memperparah cacat bawaan ini.
Prayitno menutup analisisnya dengan menyerahkan semua pada waktu. Meski hingga kini tidak terkonfirmasi ada perpindahan Ahmad Sahroni ke PSI, perjalanan menuju Pemilu 2029 masih panjang dan berliku.
“Apakah Ahmad Sahroni pindah ke PSI ataukah justru sebaliknya tidak ada kejutan apa pun? Mari kita tunggu tanggal 10 November. Karena sekalipun ada kejutan di negara kita, tak ada kejutan itu juga menjadi kejutan,” pungkasnya.
Publik kini menanti, apa sebenarnya “kejutan” yang dijanjikan Broron pada 10 November mendatang. Akankah Ahmad Sahroni benar-benar hijrah ke PSI, atau pertemuan itu memang murni silaturahmi seperti yang dibantah?