INAnews.co.id, Jakarta– Seorang akademisi, Ubedilah Badrun, menyampaikan kritik pedas terhadap penegakan hukum korupsi di Indonesia. Dalam sebuah paparan, ia menyatakan telah kehilangan harapan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menyerahkan peran pemberantasan korupsi kepada kekuatan publik.
Menurut Ubed, Indonesia kini telah masuk dalam kategori kleptokrasi, sebuah sistem pemerintahan yang dicirikan oleh korupsi yang permanen dan terinstitusionalisasi.
“Kita bongkar misalnya proyek strategis nasional itu secara seluruhnya sepanjang kekuasaan Jokowi sampai awal Prabowo ini, itu menghabiskan sekitar Rp 1.500 triliun. Saat beberapa riset BPKP, ternyata yang dikorupsi dari angka lebih dari Rp 1.500 triliun itu sekitar Rp 510 triliun,” klaim Ubedillah, dalam diskusi publik “Skandal Whoosh-Pintu Masuk Bongkar Korupsi Jokowi”, Rabu (5/11/2025), di Jakarta.
Angka tersebut, jika benar, berarti 36 persen dari nilai proyek strategis nasional bocor akibat korupsi. Ubed menduga kuat dana hasil korupsi itu “masuk ke semua pejabat, diduga kuat juga masuk ke Jokowi.” Ia menyebut situasi ini sebagai bentuk kerakusan kekuasaan di tengah kesulitan rakyat.
Mengarahkan sorotan pada proyek kereta cepat Whoosh, Ubed menyoroti potensi kerahasiaan sebagai pintu korupsi. Ia menduga kuat ada sesuatu yang disembunyikan dalam kasus ini, merujuk pada perubahan dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 117 Tahun 2015 menjadi Perpres No. 93 Tahun 2021.
“Kita gak punya akses untuk membongkar: apakah perubahan Perpres itu ada jaminan khusus?” tanyanya. Kekhawatirannya terinspirasi dari studi kontrak China di Afrika dan Asia, seperti kasus Sri Lanka dimana pelabuhan Hambantota diambil alih China karena gagal bayar utang.
“Saya khawatir jangan-jangan wilayah Halim itu sudah ada yang diagunkan,” ujarnya. Jika Indonesia terjebak dalam ketidakmampuan membayar utang, ia mengkhawatirkan adanya takeover dalam pengelolaan kereta cepat Whoosh oleh pihak China.
Ubed juga menyoroti sejumlah “pintu korupsi” dalam proyek Whoosh. Pertama, adalah markup harga yang tidak rasional. Menurut perhitungannya, biaya per kilometer Whoosh mencapai US$ 52 juta, jauh lebih tinggi dari di Shanghai yang hanya US$ 17-18 juta, dengan selisih hampir 300 persen.
Kedua, perubahan skema dari business-to-business (B2B) menjadi business-to-government (B2G). Ketiga, adanya pembengkakan biaya yang sangat besar, sekitar US$ 1,6 miliar atau setara Rp 20 triliun.
Terhadap pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan mengambil alih tanggung jawab utang Whoosh “atas nama rakyat”, Ubed memberikan kritik keras. Ia menyebut narasi ini sebagai bentuk “timokrasi” —sebuah konsep dari Plato tentang kekuasaan yang mengedepankan kehormatan dan kebanggaan serta cenderung militaristik.
“Prabowo perlu ditegur keras… atas nama rakyat siapa?” tegasnya. Ubed mempertanyakan asal dana yang akan digunakan Prabowo untuk menanggung utang tersebut dan menegaskan bahwa kasus korupsi tidak boleh diselesaikan hanya dengan narasi tanpa pembongkaran hukum.
Ia juga mengkritik pernyataan kebanggaan memiliki kereta cepat Whoosh. “Itu teknologinya China. Apa yang bisa dibanggakan? Bukan milik [kita],” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Ubedillah Badrun kembali menegaskan ketidakpercayaannya pada KPK. Dalam situasi yang ia sebut sebagai “gejala sakit” (morbid symptom) negara, harapan terakhir untuk perubahan besar, menurutnya, terletak pada gerakan rakyat dan gerakan sipil.
“Karena saking rusaknya, kalau Antonio Gramsci sebenarnya sebagai morbid symptom, situasi yang sangat sakit negara ini tapi tak kunjung datang harapan untuk sembuh,” pungkasnya.






