Menu

Mode Gelap
Program Studi Hubungan Internasional Universitas Moestopo Jajaki Kerja Sama Akademik dengan Kedutaan Besar Ekuador Persatuan Guru Besar Indonesia Bentuk Satgas Lingkungan Berkelanjutan Komitmen Perlindungan HAM Perempuan Belum Prioritas Utama Pemerintahan Prabowo Pengamat: Kritik Kebijakan Boleh, Serang Personal Bisa Berurusan Hukum Terima Upeti Rp30 Juta, Anggota DPRD Bolsel Tantang Wartawan, Malah Kicep Saat Diperlihatkan Bukti, Masyarakat Geram, NasDem & PDIP Diminta PAW Pemkab Taliabu Luncurkan Program Tamasya Merdeka

NASIONAL

Tanggapan AJI-LBH Pers ketika Tanya MBG Kartu Pers Istana Dicabut

badge-check


					Foto: dok. ist Perbesar

Foto: dok. ist

INAnews.co.id, Jakarta– Sebuah pertanyaan sederhana soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) berujung pada pencabutan akses jurnalis ke Istana Negara. Kejadian ini terjadi saat Presiden Prabowo Subianto baru saja menginjakkan kaki di tanah air setelah tur diplomatik ke empat negara.

Jurnalis CNN Indonesia berinisial DV kini kehilangan kartu identitas liputan Istana setelah menanyakan program andalan pemerintah yang tengah diterpa kontroversi keracunan massal. Ironisnya, pencabutan dilakukan hanya beberapa jam setelah sang presiden pulang dari misi internasional yang bertujuan memperkuat citra Indonesia di mata dunia.

Sabtu sore (27/9/2025), suasana Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma riuh dengan kedatangan rombongan kepresidenan. Para wartawan berbaris menunggu kesempatan meliput kepulangan pemimpin negara dari lawatan resmi.

Di tengah hiruk-pikuk itu, DV mengajukan pertanyaan yang ternyata mengubah nasibnya sebagai jurnalis: bagaimana tanggapan presiden soal kasus keracunan MBG yang kian meluas?

Bagi DV, ini pertanyaan wajar. Bagi Biro Pers Istana, ini adalah “pertanyaan di luar konteks agenda” yang layak dihukum.

Sekiran pukul 20.00 WIB, petugas Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden mendatangi kantor CNN Indonesia. Mereka sederhana: mengambil kembali ID pers Istana milik DV.

Alasan pencabutan yang diberikan Biro Pers Istana mengundang pertanyaan besar: sejak kapan jurnalis harus tunduk pada “konteks agenda” yang ditetapkan pemerintah?

“Ini bukan soal konteks, tapi soal kontrol,” tegas Ketua AJI Jakarta Irsyan Hasyim dalam pernyataan bersama dengan Direktur LBH Pers Mustafa Layong.

Program MBG bukanlah topik asing atau sensitif. Bahkan Prabowo sendiri mengakui ini sebagai “program yang besar” dan berjanji akan memanggil pimpinan Badan Gizi Nasional untuk evaluasi. Lantas, mengapa pertanyaan soal program ini dianggap “mengganggu”?

Yang lebih ironis lagi, pencabutan terjadi di hari yang sama ketika Indonesia baru saja menunjukkan wajah terbaiknya di panggung internasional.

Tindakan Biro Pers Istana ini berpotensi melanggar sedikitnya tiga regulasi sekaligus:

Pertama, UU No. 40/1999 tentang Pers yang secara tegas melindungi fungsi pers sebagai kontrol sosial dan pengawas kepentingan umum. MBG, sebagai program yang menyedot anggaran triliunan rupiah, jelas masuk kategori kepentingan umum.

Kedua, UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mewajibkan pejabat memberikan akses informasi kepada publik, bukan malah mempersulit jurnalis yang menjadi jembatan informasi.

Ketiga, Pasal 18 UU Pers yang mengancam pidana hingga dua tahun penjara atau denda Rp500 juta bagi siapa pun yang menghambat kebebasan pers.

“Segala bentuk kekerasan atau penghambatan terhadap jurnalis adalah pelanggaran hukum dan demokrasi,” tegas AJI Jakarta dan LBH Pers.

Insiden ini mengirimkan sinyal mengkhawatirkan tentang arah kebijakan media di era Prabowo. Jika pertanyaan tentang program pemerintah saja dianggap “mengganggu”, bagaimana nasib investigasi jurnalistik yang lebih mendalam?

Yang lebih memprihatinkan, tindakan ini justru kontraproduktif dengan upaya pemerintah membangun transparansi. Alih-alih menjawab kekhawatiran publik soal MBG, pemerintah malah menutup akses media yang ingin mengklarifikasi isu tersebut.

Menghadapi situasi ini, AJI Jakarta dan LBH Pers mengajukan tiga langkah konkret: Permintaan maaf resmi dari Biro Pers Istana dan pengembalian ID pers DV; Evaluasi menyeluruh terhadap pejabat yang mengambil keputusan pencabutan; Komitmen nyata untuk menghormati UU Pers dan kebebasan jurnalistik.

Kasus DV bukan sekadar persoalan satu jurnalis atau satu media. Ini adalah ujian pertama komitmen Prabowo terhadap kebebasan pers dan transparansi pemerintahan.

Respons terhadap kasus ini akan menentukan bagaimana hubungan pemerintah-media akan berjalan selama lima tahun ke depan. Akan menjadi pemerintahan yang terbuka dan akuntabel, ataukah akan terperangkap dalam pola lama yang alergi terhadap kritik?

Satu hal yang pasti: mata publik kini tertuju pada bagaimana Istana menyelesaikan polemik yang bermula dari satu pertanyaan sederhana tentang makan gratis ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Komitmen Perlindungan HAM Perempuan Belum Prioritas Utama Pemerintahan Prabowo

24 Oktober 2025 - 18:19 WIB

Pengamat: Kritik Kebijakan Boleh, Serang Personal Bisa Berurusan Hukum

24 Oktober 2025 - 18:16 WIB

Terima Upeti Rp30 Juta, Anggota DPRD Bolsel Tantang Wartawan, Malah Kicep Saat Diperlihatkan Bukti, Masyarakat Geram, NasDem & PDIP Diminta PAW

24 Oktober 2025 - 10:09 WIB

Populer NASIONAL