Menu

Mode Gelap
AI Hanya Alat Bantu Investasi AI Dimulai dari Manusia AI China Ini Lebih Canggih daripada GPT-5 APTISI Gelar Rembug dan Pelantikan Pengurus Pusat Periode 2025-2030 Indonesia Hanya 5 Persen Populasi yang Aktif Gunakan ChatGPT AI Perparah Penyebaran Hoaks

HUKUM

Sejarah dan Realita Mafia Peradilan

badge-check


					Sejarah dan Realita Mafia Peradilan Perbesar

INAnews.co.id, Jakarta – Mafia peradilan merupakan korupsi yang sistematik
yang melibatkan seluruh pelaku yang berhubungan atau berkaitan dengan
lembaga peradilan mulai dari polisi, jaksa, advokat, panitera, hakim sampai petugas di Lembaga Pemasyarakatan.

Mafia peradilan adalah “Perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu atau aparat penegak hukum dan pencari keadilan, untuk memenangkan kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga menyebabkan rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan.

Penyalahgunaan wewenang sendiri sebagaimana tersebut di atas, menurut UU No 3/1971 yang telah diperbarui oleh UU No31/ 1999 jo UU No20/ 2001 termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi.

Ada beberapa hal yang membedakan antara penyalahgunaan wewenang yang bermuara pada korupsi yang dilakukan oleh eksekutif maupun legislatif, dengan penyalahgunaan wewenang yang bermuara pada korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum antara lain:

  1. Status tanggung jawab yang melekat pada mereka sebagai aparat penegak hukum jika mereka korupsi maka akan melakukan kesalahan ganda, karena otomatis tidak menjalankan tanggung jawabnya untuk memberantas korupsi melalui penegakan hukum, dan melakukan korupsi yang seharusnya ia berantas sendiri.
  2. Sebagai penegak hukum yang telah ahli dalam membaca aturan dan praktik peradilan, tentunya ia paham sekali lubang-lubang aturan sehingga sangat mudah baginya untuk meloloskan diri dari jeratan hukum.

Kegiatan mafia peradilan secara yuridis sangat kental dengan tindak pidana korupsi sebagai mana diatur di dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Misalnya, ketika seorang hakim menerima suap untuk merekayasa putusan, maka hal itu dapat dijerat menggunakan pasal 12 C UU No.31 tahun 1999 jo. UU. No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor dan diancam pidana penjara seumur hidup atau pidana pernjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan pidana denda paling sedikit  Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Akar permasalahan yang melatarbelakangi timbulnya judicial corruption dan tidak adanya sikap judicial discretion dalam lembaga hukum kita adalah bahwa kondisi tersebut sebenarnya merupakan akibat langsung dari politik hukum negara kita yang secara sistematis telah membatasi bahkan mengekang ruang gerak lembaga hukum kita.

Pemerintah kita memilih untuk menerapkan Herziene Indonesisch Reglement
(HIR) sebagai hukum acara perdata kita daripada Reglement op de Rechtsvordering (Rv), hukum acara yang berlaku untuk orang atau peradilan Eropa, yang justru menjamin akses kepada advokat (acces to legal council) dan hak asasi manusia pada umumnya.

Apabila di telaah lebih jauh dapat dikatakan pengaturan dalam HIR kurang
dituntut persyaratan yang ketat bagi para hakim dan jaksa, serta kurang memberikan perlindungan kepada para terdakwa.

Jaksa di Landraad (pengadilan negeri bagi golongan pribumi) adalah pejabat yang rendah bila dibandingkan dengan officier van justitie di Raad van Justitie (pengadilan tingkat banding bagi golongan Eropa) dan berpendidikan rendah. Selanjutnya, HIR mengatur pihak-pihak yang berperkara dapat tampil sendiri dalam sidang pengadilan dan untuk selanjutnya memperoleh segala bantuan yang mereka perlukan dari hakim atau panitera pengadilan.

Akibatnya, seringkali mereka yang berperkara di pengadilan harus tampil membela dirinya sendiri dari segala tuduhan yang diarahkan kepada mereka atau dibantu oleh pokrol bambu (zaakwaarnemer) yang tidak memiliki ilmu pengetahuan hukum yang memadai untuk berperkara.

Hakim di satu sisi dituntut bertanggung jawab menciptakan keadilan bagi pihak yang berperkara, namun di sisi lain oleh HIR diberikan kesempatan untuk dapat juga memberikan bantuan hukum bagi mereka.

Kondisi ini jelas akan berpotensi menciptakan conflict of interest antara hakim dan hak terdakwa dalam mengambil keputusan demi keadilan bagi kasus yang sedang diperiksa atau ditangani .

Berbeda dengan sistem peradilan bagi orang-orang Eropa dimana mereka telah mengenal lembaga advokat dalam kultur hukum Eropa. Ketentuan mengenai peran advokat untuk memberikan bantuan hukum diatur secara jelas dalam hukum acara peradilannya, yakni adanya ketentuan mengenai kewajiban legal representation by a lawyer, baik di dalam perkara perdata maupun perkara pidana.

Dalam kondisi yang demikian tentunya profesi advokat dapat tumbuh dan berkembang bagi advokat-advokat Belanda yang beracara dalam pengadilan Eropa.

Sedangkan di pengadilan-pengadilan pribumi, peran advokat dalam membantu mereka yang berperkara dikecilkan sehingga eksistensi advokat dianggap seakan tidak penting dan tidak berkembang.

Pada masa itu Belanda jelas menilai pengacara pribumi (inlander) sebagai sumber korupsi karena kegemarannya berperkara, potensinya menyalahgunakan hukum serta sikap-sikap lainnya yang dinilai dapat menimbulkan keributan dan memperluas kekacauan social budaya.

Di sisi lain, pokrol bambu yang tidak mempunyai kualitas memadai dan tersebar di wilayah pedesaan, lebih mengutamakan kedekatan tertentu dengan pejabat-pejabat di lingkungan peradilan untuk melaksanakan fungsinya, yakni menjadi jembatan penghubung antara masyarakat tradisional dengan pengadilan-pengadilan pemerintah.

Malahan, komersialisasi pendampingan hukum juga lebih hidup dalam praktek pokrol bambu, dengan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat serta menyalahgunakan hubungan dengan para pejabat peradilan, sehingga pendekatan lobby lebih dikuasai oleh pokrol bambu dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang ditangani daripada mengemukakan argumentasi-argumentasi hukum.

Setelah kemerdekaan RI, kondisi advokat Indonesia sebagaimana pada masa penjajahan Belanda, terus berlanjut.

Hal ini akibat pilihan konstitusi kita, yaitu Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa, segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.

Dengan adanya Aturan Peralihan tersebut di atas maka peraturan yang diberlakukan pada pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia sebelum kemerdekaan tetap berlaku selama belum ada penggantinya, sehingga peraturan seperti HIR tetap menjadi pedoman beracara dalam hukum positif Indonesia.

Kebijakan untuk mempertahankan sistem hukum dan sistem peradilan yang lama, diawali oleh terbitnya Undang-undang No. 1 Tahun 1946 mengenai Peraturan
Hukum Pidana, yang menetapkan bahwa untuk hukum pidana Indonesia berlaku
Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942.

Ketentuan hukum berikutnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pasca kemerdekaan adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Jalannya Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia.

Di dalamnya ditentukan bahwa Mahkamah Agung memegang pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan, sehingga tingkah laku perbuatan pengadilan-pengadilan dan para hakim di pengadilan mendapat pengawasan yang cermat dari Mahkamah Agung.

Kemudian, Undang-undang mengenai Mahkamah Agung tersebut terus berlanjut dan mengalami beberapa kali perubahan, antara lain lewat Undang-undang No. 13 Tahun 1965 yang khusus dikeluarkan dalam rangka mendukung politik hukum rezim Soekarno, guna memastikan bahwa Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tidak lepas dari intervensi presiden dan tunduk kepada presiden sebagai pelaksana revolusi.

Perubahan selanjutnya atas Undang-undang mengenai Mahkamah Agung dilakukan masih tetap dalam konteks politik pembenaran atas campur tangan Presiden terhadap soal-soal pengadilan demi kepentingan revolusi, yakni melalui Undang-undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Walaupun kemudian UU No. 19 Tahun 1964 tersebut diubah kembali dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana di dalamnya diatur mengenai prinsip-prinsip peradilan modern, seperti dimulainya penghargaan akan independensi dan imparsialitas lembaga peradilan serta prinsip jaminan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.

Namun hal tersebut sebenarnya tidak menghasilkan pembaharuan yang memadai karena masih terganjalnya kemandirian peradilan secara kelembagaan dan otonomi hakim secara fungsional oleh sistem dua atap yang terus dipertahankan.

Itulah sebabnya mengapa hingga kini dalam sistem peradilan dan hukum kita timbul judicial corruption dan tidak adanya sikap judicial discretion dalam diri aparat penegak hukum kita, khususnya para hakim, yang kemudian menimbulkan praktek-praktek mafia peradilan dalam lembaga hukum kita.

Modus operandi mafia peradilan ibarat transaksi jual-beli. Penjual pihak yang mempunyai kewenangan, sedangkan pembeli kelompok yang membutuhkan kemenangan dalam suatu proses hukum. Penjual, misalnya, adalah hakim yang memutuskan perkara, dan pembeli adalah terdakwa yang membutuhkan putusan bebas.

Dalam praktek jual-beli kasus, posisi panitera, pegawai pengadilan, dan advokat hanyalah makelar perkara.  Sebagai calo, mereka hanya berfungsi sebagai penghubung negosiasi antara penjual dan pembeli.

Ibarat makelar jual-beli tanah, mereka hanya mendapat komisi dari transaksi jual-beli. Tanah akan langsung dinikmati oleh pembeli, sedangkan penjual akan mendapatkan sebagian besar uang hasil jual-beli.

Bahwa mafia peradilan di Mahkamah Agung (MA) melibatkan para pegawai, pejabat, panitera, dan para hakim. Praktik mafia itu dilakukan dengan cara; pemerasan, penyuapan, pengaturan majelis hakim favourable, calo perkara, pengaburan perkara, pemalsuan vonis, pemberian ’surat sakti’, atau vonis yang tidak bisa dieksekusi.

Bila dilihat dari sejarahnya, mafia peradilan itu mulai menggeliat semenjak munculnya Orde Baru.  Saat itu, lembaga hukum berada di dalam hegemoni kekuasaan. Sementara di sisi lain, kekuatan masyarakat sipil tak berdaya sama sekali.

Modus mafia peradilan menjangkau disetiap tingkat proses hukum. Mulai dari kepolisan, kejaksaan hingga di Pengadilan.

Tidak hanya dalam kasus pidana namun gugatan perdata ditingkat pengadilan negeri, tingkat banding hingga kasasi di Mahkamah Agung, judicial corruption merajalela dengan bebas.

Tingkat kepolisian, modus yang sering digunakan oleh penyidik antara lain menghentikan proses penyidikan setelah terjadi negosiasi harga dengan tersangka, memanipulasi BAP agar dakwaan dapat meringankan tersangka, tidak membuat SPDP (surat perintah dimulainya penyidikan).

Ditingkat kejaksaan, misalnya dalam kasus korupsi, calon tersangka dipanggil ke Kejaksaan dan ditanya apakah kasusnya akan diteruskan atau tidak, kalau pada saat itu si calon tersangka bersedia membayar jumlah uang tertentu maka kasusnya tidak akan diteruskan.

Kemudian ditingkat pengadilan pidana, Pihak terdakwa memberikan kompensasi tertentu pada pihak Jaksa Penuntut Umum agar dakwaannya dibuat kabur atau dibuat lemah sedemikian rupa agar dapat dieksepsi oleh pengacara terdakwa.

Hakim sengaja menunda putusan agar pihak terdakwa menemui hakim dan bernegosiasi untuk menentukan putusan yang akan dijatuhkan, biasanya putusan tergantung kemampuan pihak terdakwa untuk membayar.

Untuk kasus perdata, modus mafia peradilan sudah tampak sejak tahap awal pada proses administrasi hingga tahap persidangan. Ditingkat pengadilan negeri, Melalui panitera, pengacara menghubungi ketua PN untuk melakukan negosiasi penentuan majelis hakim yang akan menangani perkara kliennya.

Hakim, melalui panitera menawarkan pilihan putusan sesuai keinginan para pihak dengan bayaran tertentu, di mana pihakyang bisa membayar lebih tinggi akan menentukan keputusan itu sesuai dengan keinginannya.

Ditingkat banding, Panitera atau hakim menghubungi pihak yang mengajukan banding atau yang terbanding melalui pengacaranya masing-masing untuk melakukan penawaran-penawaran

Mahkamah Agung tak luput dari praktek mafia peradilan, modusnya antara lain Bagian administrasi dengan cara yang sangat halus dan tidak vulgar meminta “dana tambahan” tanpa kwitansi kepada pihak yang mengajukan kasasi.

Sek.Jend atau asisten hakim agung menghubungi salah satu pihak yang bersengketa dan menawarkan pada mereka suatu putusan yang dapat memenangkan perkara mereka.

 

 

Penulis : Arthur Noija, SH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Secara Yuridis Gelar Pahlawan Soeharto Tidak Ada Halangan

14 November 2025 - 22:59 WIB

Ada Indikasi Kriminalisasi terhadap Roy Suryo

14 November 2025 - 20:48 WIB

Pemberian Gelar Pahlawan Soeharto Sinyal Kembalinya Otoriter

4 November 2025 - 22:53 WIB

Populer GERAI HUKUM